Senin, 27 Februari 2012

Abdur Raheem Green :Tuhan Bisa Mati ? Serasa Ditonjok Mike Tyson Tepat Di Batang Hidungku,

posted by: Dunia Andromeda


In the Name of Allâh, the Most Beneficent, the Most Merciful
Namanya sekarang Abdurraheem Green. Bahkan orang menaruh kata Syeikh di depan namanya. Dia anak pejabat kolonial Inggris di Tanzania. Lahir dari ibu penganut Katolik Roma yang taat dan ayah seorang agnostik,

Anthony dibesarkan sebagai seorang Katolik Roma yang taat. Rasa bersalah dari sang ibu yang menikah dengan seorang agnostik, membuat ibu Anthony berambisi menjadikannya menjadi seorang penganut Katolik Roma yang taat. Anthony (10) dan sang adik, Duncan (8) disekolahkan di asrama biara.




Setiap hari ia hidup bersama para biarawan di Ampleforth College, di Yorkshire, Inggris Utara. Keluar dari sana dengan kesadaran seorang Kristen yang saleh. Berkulit putih, bertampang ala pemusik rock, cukup ‘manusiawi’ kalau perasaan superioritas kulit putihnya muncul ketika berhadapan dengan orang Asia atau orang ‘dunia ketiga’.

“Seharusnya ibu juga menikah dengan seorang Katholik, tapi karena ibu menikah dengan ayah yang agnostik, ia merasa menjadi seorang penganut Katolik yang buruk. Maka, ia ingin menjadikanku seorang Katolik yang taat,” ujarnya. Sang ibu menganggap dengan bersekolah di asrama akan membuat Anthony menjadi penganut Katolik yang taat.

Saat Anthony berumur sembilan tahun, sang ibu mengajarinya sebuah doa yang biasa diucapkan oleh umat Katholik. Doa itu dimulai dengan kalimat "Salam maria, ibu Tuhan". Namun, kalimat itu membuat Anthony sangat tidak nyaman. Bahkan dalam usianya yang baru sembilan tahun, kalimat itu seperti pukulan pertama, mendengar ibu berkata salam maria ibu Allah.

“Aku kemudian bertanya pada diri sendiri bagaimana Tuhan bisa memiliki ibu?,” katanya. Ia berpikir Tuhan seharusnya tanpa awal dan tanpa akhir. Bagaimana bisa Tuhan memiliki seorang ibu? Anthony kecil kemudian mengambil kesimpulan “jika Maria adalah ibu Tuhan, maka pasti Maria menjadi Tuhan lebih baik daripada Yesus”.

Belum lagi soal pelajaran di sekolahnya yang semakin membuatnya galau. Di sekolah, dalam satu kali setahun selalu ada pengakuan dosa kepada pastor. "Kamu harus mengakui semua dosa, jika tidak maka pengakuan dosa-dosamu tidak akan diampuni,” begitu kata pastur. 
Ia mulai berpikir kritis, bagaimana mungkin mengakui dosa kepada seorang pastor. Apalagi menagakui dosa terhadap orang-orang yang notabene tinggal bersama dalam satu asrama. “Dengan kata lain mereka yang bertanggung jawab dari kita?,” begitu pikirnya. Ia mengasumsikan pengakuian ini sebagai adalah konspirasi besar dalam rangka untuk mengontrol orang dengan modus mengakui dosa.

“Mengapa saya harus pergi ke Anda untuk mengakui dosa-dosa saya? Mengapa saya tidak bisa meminta Tuhan untuk mengampuni saya?", katanya kepada pastor. Pastor itu menjawab bisa saja meminta ampun secara langsung kepada Tuhan, tapi tak ada jaminan Tuhan mendengan pengampunan dosanya.

Ia merasakan keimanannya semakin ‘ada dalam masalah’. Pikirannya mulai liar, ia bahkan memiliki ide “Tuhan menjadi manusia”.

Masyarakat barat selalu berpikir jika ingin bahagia dan menikmati hidup, maka hanya ada satu jalan yaitu memiliki banyak uang. Dengan uang dapat membeli mobil bagus dan TV, pergi ke bioskop dan bisa membeli semua hal yang dibutuhkan untuk hidup. Pada kenyataannya Anthony sama sekali tidak merasakan hal itu.

Pikirannya mulai terbuka. Ia sering bertanya mengapa harus sekolah di asrama, jauh dari siapapun dan dimanapun. Saat berusia sebelas tahun, sang ayah dipindah tugaskan ke Mesir. Ayahnya menjadi General Manager Barclays Bank di Kairo. Hampir selama sepuluh tahun, ia selalu menghabiskan waktu liburan di Mesir. Sekolah di London, dan liburan di Mesir.


Ia mulai jatuh cinta pada Mesir. Saat kembali ke sekolah seusai liburan, ia bertanya untuk apa kembali ke asrama Yorkshire Moor, ia merasa tak menyukai tempat itu. “Saya mulai bertanya pada diri sendiri mengapa saya ada, apa tujuan hidup saya,hidup ini untuk apa? Apa itu cinta?”. 

Ia pun mulai mempertanyakan hakikat hidup. ia menjawab sendiri pertanyaannya. “Aku sekolah disini dalam rangka belajar untuk mendapatkan hasil yang terbaik, agar bisa pergi ke universitas yang baik. Setelah itu dapat gelar, dapat pekerjaan yang membuat saya punya banyak uang. Jadi, kalau saya punya anak, bisa mengirim anak ke sekolah yang mahal,” begitu pikirnya. Tapi ia masih menanyakan untuk apa semua itu, ia tak yakin apa yang dipikirkannya adalah alasan untuk hidup yang sebenarnya.

Ia lantas mulai mencari jawaban, memulai pecarian. Pencarian itu barangkali bisa ditemukan melalui agama lain yang mungkin bisa memberikan pemahaman tentang tujuan hidup.

Sepuluh tahun waktu yang di ia habiskan di Mesir. Ada satu masa saat ia berumur 19 tahun berbincang tentang Islam dengan seseorang. Ia memang meragukan Katholik sebagai agamanya. Tapi saat itu siapapun yang mempertanyakan agamanya itu, ia akan tetap membela keimanannya. Ia merasakan ini sebagai sebuah paradoks yang aneh.

Tuhan Bisa Mati? Mendengar Itu Abdur Raheem Green Serasa Ditinju Mike Tyson di Wajah

Suatu hari,“Aku berbincang dnegan orang itu selama 40 menit. ketika hendak ‘memberadabkan’ seorang pemuda Mesir ke jalan Yesus, di tengah pembicaraan, si pemuda Mesir bertanya:

“Do you believe that Jesus is God?” [ “apakah kau mempercayai Yesus?”]
“Yes!”[ya] jawab si George [waktu itu namanya George Anthony]
“Do you believe that Jesus died in the cross?” [“apakah kamu percaya Yesus mati disalib”]tanya si Mesir lagi.
“…..”

Setelah dialog itu, hatinya tak pernah tenang. “Serasa ditonjok Mike Tyson tepat di batang hidungku,” kenangnya suatu saat. Mulai timbul perasaan telah sekian lamanya diindoktrinasi oleh ajaran yang tak masuk di akal. Gelisah.

Singkat kata, ia tak percaya Kristus lagi. Kristen tak memberinya kepuasan akal. Lalu ia melihat kehidupan spiritual di Timur yang serba tentram dan tenang. Ia pergi ke India, menjadi pengikut Budha.

Tapi tak lama.

Karena sang Budha memandang hidup seluruhnya penderitaan. Hidup bahagia nanti masanya, di Nirwana, setelah manusia berhasil memurnikan diri melaui perih dan pedih. Untuk bisa mencapai Nirwana, manusia harus menderita, melenyapkan egonya. Dengan pandangan ini, harapan untuk hidup bahagia di dunia sirna sudah.

Mana mungkin dahaga jiwa terbasuh bila selama hidupnya manusia adalah bagian dari penderitaan? Pemain inti dalam kemalangan?

Ia pun meninggalkan jalan Budha. Kemana lagi? Ah, capek ngikuti orang, kenapa tak bikin ajaran sendiri saja? Toh semua nabi dan pendeta manusia juga? Dia pun jadi nabi untuk dirinya sendiri. Agama sendiri.

Tapi kegelisahan jiwa tak juga hilang. Pertanyaan paling mengganggu adalah: “Hidup ini untuk apa?”
Dia campakkan agama buatannya sendiri itu, sembari menyumpah: “Hell with these all things! Maybe there’s no meaning to life!”


Lupakan Agama, Lebih Baik Cari Uang

Ternyata ada satu masa pula dalam hidupnya ketika Anthony tak ingin berpikir lagi tentang agama. “Saya merokok dan minum kopi, tapi pertemuan dengan pemuda di Mesir menjadi titik balik dalam kehidupan saya,” katanya.

Sebelumnya saya tak pernah bermimpi bahkan memikirkan tentang Islam. Saya mulai berkata pada diri sendiri untuk melupakan soal agama, soal spiritualitas. “saya berpikir mungkin tak ada lagi kebahagiaan selain menjadi kaya,” ujarnya. Anthony kemudian bercita-cita bisa naik kapal pesiar atau pesawat jet pribadi agar bisa bahagia.



Sekarang, yang penting, bagaimana hidup sesenang mungkin. Titik. Itulah makna hidup. Senang. Bahagia. Dan alat paling masuk akal dan realistis untuk kesenangan adalah uang. Oke, cari uang sebanyak-banyaknya!

Caranya? Yang bekerja keras! Lihat di Amerika, ada orang-orang yang begitu kaya, tapi itu hasil kerja ¾ hidupnya. Itulah American dream. Makin besar kekayaan yang diangankan, makin keras kerja yang diperlukan. Berarti orang hanya bisa senang kalau sudah berumur. Nengok ke Jepang, apa lagi, kerja keras sampai mampus. Apa artinya hidup kalau lebih dari separuhnya harus dipakai untuk kerja keras? Cuma beda sedikit dangan ajaran sang Budha.

“Then I see the Saudi Arabians..” [“Kemudian saya berfikir tentang orang Arab.."] katanya. “Mereka cuma leha-leha di atas unta, mengucapkan Allahu akbar, Alhamdulillah..uang mengalir terus…”

“Kok mereka bisa begitu? Coba kuperiksa ajaran agamanya,” kenangnya lagi.



Membaca Alquran 

Alquran! Lalu ia mencari al-Qur’an, ‘kitab orang-orang Arab’, dan membacanya dengan kepenasaranan yang tinggi. Ia pertama kali membacanya di atas kereta api, sebagai seorang petualang tanpa agama.
Meski ia hanya membaca terjemahan Inggrisnya, suntuk jiwanya mulai terlipur, kata demi kata. Dahaga akal dan rasa perlahan berganti sejuk dari tetes demi tetes ayat al-Qur’an..Ya, Anthoni merasakan ketertarikan luar biasa untuk membeli Alquran. Ia mengambil terjemahannya. “Aku tak ingin mencari kebenaran. Aku hanya ingin tahu apa isi kitab suci ini,” katanya.



Anthony adalah pembaca yang cukup cepat. Ia membaca Alquran saat berada di kereta api.

Seketika itu pula ia menyimpulkan dan berkata pada diri sendiri, "Jika saya pernah membaca buku yang berasal dari Tuhan, maka ini dia bukunya.”

Ia menyakini Alquran itu berasal dari Allah. Ketika menyadari itu ia mulai bergerak lebih jauh, tak hanya membaca Alquran saja, tapi untuk mengamalkannya juga. “Sama saja seperti kita melihat apel yang terlihat harum, kita tak akan pernah tahu rasanya kalau tidak mencicipinya,” katanya.

Tertarik dengan pengamalan Alqurlan ia pun mulai mencoba untuk shalat meski saat itu ia belum resmi mengucap syahadat. Tak tahu bagaimana cara shalat, ia mengingat-ingat bagaimana seseorang yang pernah ia temui di Mesir melakukan shalat. “Saya mengingat seorang lelaki shalat dengan cara yang lebih indah dibandingan saya ketika masih menjadi Katholik,” katanya.

Suatu hari Anthony pergi ke toko buku yang kebetulan berada di dalam masjid. Toko itu memiliki koleksi buku tentang Muhammad dan tata cara shalat. Seorang pria menanyakan apakah ia seorang Muslim. Anthony lantas menjawab, “Apakah saya Muslim, apa yang ia maksud dengan itu? Saya bilang "Ya saya bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad utusannya."

"Ah, bila demikian, anda Muslim. Ini waktunya shalat, mari kita shalat," ajak si lelaki itu.

Anthony kebetulan datang ke toko buku itu saat hari Jumat. Ia yang tak paham gerakan shalat hanya berusaha shalat dengan gerakan yang ia tahu saja. Masih salah disana-sini. “Setelah itu orang-orang mengelilingi saya dan mengajarkan saya cara shalat yang benar.” Ia merasakan seperti berada di awan. "Rasanya Fantastis."

Namun butuh dua tahun lagi sebelum akhirnya ia resmi bersyahadat dan menjadi Muslim. Terlepas dari kenyataan ia kini telah masuk Islam, ia mengaku menyesal telah menyia-nyiakan waktu dua tahun sebelum menjalani Islam dengan baik.

“Aku tahu kebenaran tapi tak segera menjalankannya. Itu adalah kondisi yang buruk. Jika kita tidak tahu, maka tidak dikenai dosa. Tapi masalahnya saya tahu apa yang benar,” katanya. Setelah itu ia tak pernah menoleh ke belakang. Kini ia mengaku belajar banyak dari pengalaman itu untuk ber-Islam dengan lebih baik.

***
Sekarang, dia dikenal sebagai international speaker for Islam; memenuhi undangan kemana-mana; berbicara tentang berbagai topik. Namun yang paling diminati jama’ah adalah perjalanannya menuju Islam. Aku sangat menikmati pengajian-pengajiannya di youtube.

Tak mudah jadi penyebar Islam di negara Barat. Di Inggris, negerinya, dia dicitrakan sebagai ‘agen’ radikalisme Islam. Media nyaris tak pernah mencitrakan dia apa adanya, selalu ‘dimiringkan’ ke fanatisme dan radikalisme.

Tapi ceramah-cermahnya tak mengesankan itu sedikit pun. Kepada para muallaf yang meminta nasihatnya, dia selalu menggaris bawahi pentingnya tetap bersikap hormat orang tua masing-masing, meski sudah berbeda keyakinan, tentu dengan merujuk ke ayat al-qur’an dan hadits.

“Saya selalu mencari cara yang paling baik untuk tetap menuruti dan mencintai Bapak saya. Meski dalam banyak hal saya tak berkenan. Tapi begitu dia meminta saya untuk melakukan yang diharamkan Allah dan rasul-Nya, atau meminta saya untuk meninggalkan apa yang diwajibkan Allah dan rasul-Nya, saya akan bilang: “Dad, sorry. This is the limit.”

Dia sudah mengislamkan banyak sesama bule, yang menemukan gambaran Islam yang ‘sebenarnya’ dari ceramah-ceramahnya. Dan ini membuat aku iri.

Namun, meskipun ingin, dia belum bisa mengislamkan ayahnya, yang selalu menolak sarannya masuk Islam.

Aku ingin sangat mendatangkannya ke sini, ke Indonesia. Mungkin pengetahuan keislamannya tak terlalu istimewa bagi kawan-kawan di sini, tapi perspektifnya menarik. Lalu setelah berunding mentah dengan beberapa kawan, kukirimi dia email apakah dia bisa datang kalau kami undang. Tak sampai 2 jam dia sudah membalas:

Assalamu’alaykum

May Allah bless you for your efforts.
I might be available in March. Our bookings manager will give you more details Inshallah.

Yours in Islam
Abdurraheem Green

Beberapa hari lalu, ayahandanya meninggal. Aku tahu karena dia men-tag video tentang wafatnya sang ayah. Di video itu, Abdurraheem Green sedang membimbing ayahandanya mengucapkan syahadat saat sakaratul maut. Dalam syakaratul maut, ayahnya mengikut kata demi kata:

“Laa..” bimbing Green
“Lll..laa” ayah mengikuti
“Ilaaha..”
“Ill..l..laha”
“Illallah”
“Ill..llaa lah..”

Kudukku merona dan kulitku merinding. Subhanallah, selama 20 tahun ayahnya selalu menolak. Kini dia berhasil menyampaikan hidayah Allah kepada ayahandanya, di detik-detik terakhir hidup sang ayah. Ya, setelah menebarkan hidayah ke banyak sesama.


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...