Jumat, 08 Januari 2010

Wiro Sableng Episode # 85 : Wasiat Sang Ratu

posted by: Dunia Andromeda

WIRO SABLENG
Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212

Karya: Bastian Tito
EP : WASIAT IBLIS

SATU

PENDEKAR 212 Wiro Sableng garuk garuk kepala. Lalu pada Dewa Ketawa yang duduk di hadapannya dia berkata. “Aku tetap tidak bisa percaya kalau saat ini kita berada di awang awang. Kau lihat sendiri Sobatku Gendut. Bangunan, taman, pedataran, lalu di sebelah sana malah ada bukit! Mana mungkin semua ini menggantung di udara. Mana mungkin ada dunia di atas dunia?!”
Kakek gendut berbobot 200 kati itu elus elus dadanya yang gemberot. Lalu penyakitnya kambuh. Dia mulai tertawa. Mula mula perlahan. Tambah lama makin keras hingga Wiro terpaksa tekap kedua telinganya.
“Anak tolol! Aku sudah bilang mengapa meributi segala hal yang tidak bisa sampai dalam akal kita manusia biasa? Tempat ini, termasuk para penghuninya, jadi termasuk Ratu Duyung bukanlah makhluk biasa. Mereka mampu hidup di dua alam.
Darat dan air….”
“Berarti mereka sebangsa kodok?” ujar Wiro sambil menyengir. Membuat tawa si gendut semakin keras. “Ada satu hal lagi yang aku tidak mengerti. Kulihat Sang Ratu maupun gadis gadis yang ada di sini tidak ada bedanya dengan manusia biasa. Mengapa Sang Ratu disebut Ratu Duyung? Bukankah duyung sejenis makhluk bertubuh sebagian manusia sebagian lagi ikan?”
“Memang begitulah keadaan asli tubuh mereka…” jawab Dewa Ketawa. “Kau tidak percaya? Ha…ha…ha…?!
“Kau sendiri melihat. Mereka bicara seperti kita. Memiliki kecantikan seperti bidadari. Berjalan dengan dua kaki yang mulus mulus. Bukan dengan ekor ikan….”
“Jika kau suka, kau bisa membuktikan sendiri!” kata Dewa Ketawa pula sambil senyum senyum. “Eh, membuktikan bagaimana maksudmu? Kau tahu caranya? Atau punya ajian yang bisa dirapal hingga mampu melihat bentuk asli mereka?!”
“Tak perlu ajian. Tak perlu segala macam rapalan. Cukup dengan mata telanjang.
Asal tahu rahasianya….”
“Kalau begitu tunjukkan padaku rahasia itu!” ujar Wiro.
Dewa Ketawa tak segera memberitahu tapi seperti biasanya dia tertawa dulu, membuat murid Sinto Gendeng jadi tidak sabaran.
“Kau lihat pohon besar itu, Sobatku Muda?!” tanya si kakek gendut sambil menunjuk pada sebatang pohon besar yang tumbuh miring di kejauhan. Wiro mengangguk. “Di balik pohon itu ada satu jalan kecil menurun. Di ujung penurunan ada sebuah telaga berair biru. Nah telaga ini tempat mandi gadis gadis anak buah Ratu Duyung. Terkadang mereka pergi ke sana untuk istirahat sambil bercengkrama….”
“Jadi kau menyuruh aku mengintip anak gadis mandi?”
“Terserah padamu. Kau bilang mau melihat bentuk asli gadis gadis itu….”
Wiro garuk garuk kepala. “Kalau ketahuan aku mengintip bagaimana??”
“Wah, akibatnya memang berat. Tapi itu urusanmulah!” jawab Dewa Ketawa dan orang tua bertubuh gemuk luar biasa ini kembali tertawa. Setelah tawanya reda dia berkata. “Kau tahu, cuma itu satu satunya cara kalau mau mengetahui keadaan sebenarnya para gadis di sini. Ujud asli mereka akan kelihatan bila tubuh mereka basah atau mereka masuk ke dalam air. Baik air tawar maupun air laut….”
“Bagaimana kalau mereka misalnya terguyur air hujan?” tanya Wiro pula.
“Anak setan! Macam macam saja pertanyaanmu! Mengapa tidak kau tanya bagaimana kalau terguyur air kencing?! Ha… ha… ha…! sambil usap usap dua matanya yang sipit kakek gemuk ini kemudian berkata dengan suara sengaja diperlahan lahankan. “Ada satu hal yang mau kubilang padamu….”
“Hemmm…. Apa? Kelihatannya seperti kau mau menceritakan satu rahasia besar saja!”
“Betul! Kau rupanya punya firasat!” jawab si kakek. Wiro cepat menekap mulut orang tua ini ketika dia mulai menunjukkan hendak tertawa kembali.
“Ayo cepat, kau mau bilang apa?” tanya Wiro.
“Ratu Duyung itu sebenarnya suka padamu…” bisik Dewa Ketawa.
“Jangan ngaco! Kau mengada ada saja!”
“Sobatku Muda, aku tidak bicara bohong…!”
“Bagaimana kau bisa tahu? Memangnya dia bilang padamu?!”
“Aku segera tahu pada pertama kali bertemu dengannya. Beberapa hari lalu.
Memang dia tidak mengatakan terus terang. Tapi dari sikap dan ucapannya cukup tersirat dia menyukai dirimu….”
Wiro memandang dengan mata membesar pada si gendut tua itu.
“Agaknya dia sudah lama mendengar tentang kau. Dia menjadi salah seorang dari banyak gadis yang mengagumi dirimu. Namun….” “Namun apa?”
“Rasa sukanya kurasa serta merta lenyap ketika melihat keadaan dirimu.
Ternyata kau seorang pemuda hitam gosong bermuka macam pantat kuali! Ha… ha… ha…”
“Orang tua sialan…! Maki Wiro dalam hati.
Si kakek gendut geleng gelengkan kepala. “Memang aku suka bergurau Sobatku Muda. Tapi percayalah, aku yakin betul Ratu Duyung diam diam jatuh hati padamu!”
Wiro memandang ke arah pohon besar. Di sampingnya Dewa Ketawa berkata.
“Tadi kulihat ada serombongan gadis menuju ke sana. Pasti mereka pergi mandi.
Sebaiknya kau lekas menyelidik….”
“Kau tak mau ikut mengintip?!” tanya Wiro.
“Aku sudah terlalu tua untuk pekerjaan macam begini. Itu bagian yang muda muda sepertimu….”
Wiro menyeringai. “Aku tidak percaya pada tua bangka berminyak sepertimu ini.
Jangan jangan kau sudah duluan mengintip. Kalau tidak dari mana kau bisa tahu.” “Ha… ha… ha…! tawa si kakek gendut membahak lepas.
Wiro tinggalkan orang tua itu. Dengan cepat dia melangkah menuju pohon besar. Seperti yang dikatakan Dewa Ketawa, di balik pohon itu memang ada sebuah jalan kecil. Jalan ini terbuat dari batu batu hitam, berupa tangga tangga kecil menurun.
Keadaan di tempat itu sunyi. Angin bertiup sepoi sepoi. Wiro menuruni jalan kecil dengan hati hati. Setengah panjangnya jalan yang menurun Wiro menangkap suara gelak tawa di bawah sana.
“Si gendut tidak dusta. Memang ada serombongan gadis di bawah sana…” kata Wiro dalam hati. Dia belum dapat melihat apa yang ada di bawahnya karena tertutup oleh rerumpunan pohon pohon setinggi kepala. Dengan dada berdebar murid Sinto Gendeng melangkah terus menuruni jalan batu. Debaran dadanya mencapai puncak sewaktu dia sampai di ujung jalan. “Pemandangan luar biasa…” kata sang pendekar dalam hati. Dia cepat menyelinap ke balik sebuah batu besar dan mengintai di balik kerapatan semak belukar berbunga aneh.
Di bawah sana kelihatan sebuah telaga berair biru. Di salah satu tepiannya, terdapat gundukan batu batu hitam tersusun rapi seolah ditata oleh tangan manusia.
Dari celah susunan batu batu hitam itu mengucur air jernih yang kemudian jatuh masuk ke dalam telaga.
Mata Pendekar 212 Wiro Sableng tidak berkesip memperhatikan empat orang gadis yang ada di dalam telaga, berenang sambil bercanda satu sama lain. Dari tempatnya mengintai jelas empat gadis itu mandi bertelanjang dada. Di tepi telaga tiga orang gadis lainnya duduk bermalas malas. Yang satu menyisir nyisir rambutnya dengan sebuah sisir berbentuk tulang ikan. Dua lainnya asyik mengobrol.
Salah seorang dari gadis yang mandi keluar dari telaga lalu bergabung dengan tiga temannya.
“Astaga!” murid Sinto Gendeng keluarkan seruan kaget ketika melihat keadaan tubuh gadis yang barusan keluar dari dalam telaga itu. Bagian atas auratnya berada dalam keadaan polos tanpa penutup sama sekali. Lalu tubuh sebelah bawah, inilah yang membuat Wiro jadi tercengang, mata melotot mulut ternganga. Tubuh bagian bawah gadis itu berbentuk ekor ikan besar berwarna perak berkilat. Ujungnya bergerak gerak kian kemari. Masih tak percaya Wiro gosok gosok kedua matanya. “Tak bisa kupercaya kalau tidak kulihat sendiri. Berarti keadaan Ratu Duyung tidak beda dengan keadaan anak buahnya itu…” kata Wiro dalam hati.
Selagi gadis yang barusan keluar dari telaga bercakap cakap dengan teman temannya, salah seorang gadis di tepi telaga tampak bangkit. Sesaat dia berdiri di atas sebuah batu lalu “byurrr”! Gadis itu terjun ke dalam telaga.
“Aneh, dia masuk ke dalam telaga. Kenapa tidak membuka pakaian hitamnya dulu…? pikir Wiro. Dia terus memperhatikan. Lalu pemuda ini kembali melengak keheranan. Ternyata begitu tubuhnya masuk ke dalam air, pakaian hitam yang melekat di tubuhnya lenyap secara aneh. Di saat yang sama sepasang kakinya berubah menjadi ekor ikan besar, bergerak gerak kian kemari.
“Baru sekali ini aku melihat keanehan gila macam begini!” ujar Wiro seraya geleng geleng kepala.
Baru saja dia berkata seperti itu tiba tiba terdengar suara suitan suitan keras dari beberapa penjuru. Tujuh gadis di telaga kelihatan kaget. Wiro sendiri tak kalah kejutnya karena tahu tahu tempat dimana dia berada telah dikurung oleh enam orang gadis lain anak buah Ratu Duyung. Keenam gadis ini menunjukkan wajah galak. Masing masing mengangkat tangan kanan seraya tudingkan jari telunjuk mereka lurus lurus kearah Wiro. Ujung ujung jari mereka memancarkan sinar biru pertanda mengandung satu kekuatan dahsyat.
Sadar kalau dirinya tertangkap basah Wiro jadi salah tingkah. Dia melangkah mundur namun cepat kembali ke tempat semula ketika dari ujung jari salah seorang gadis melesat keluar sinar biru yang menghancurkan batu di belakang kaki Wiro.
“Tetap di tempatmu! Jangan berani bergerak sampai Ratu datang!” salah seorang dari enam gadis membentak.
Rerumputan pohon bunga di sebelah kiri tiba tiba tersibak. Ratu Duyung muncul diiringi dua orang anak buahnya. Sesaat dia menatap pada Wiro dengan pandangan dingin. Lalu dia memberi isyarat. Empat orang anak buahnya segera mendekati Wiro.
Dua orang menarik tangan Wiro ke depan.
“Ratu, tunggu dulu!” seru Wiro. “Jangan salah mengerti. Aku tidak bermaksud jahat….”
“Kau sudah tertangkap basah melakukan perbuatan kurang ajar. Masih hendak mengelak?!” bentak Ratu Duyung. “Ikat tangannya!”
Dua gadis anak buah Ratu Duyung kembali menarik tangan Wiro ke depan.
Lengannya disilang satu sama lain lalu gadis ketiga maju mendekat. Ujung jarinya yang memancarkan sinar biru digerakkan.
“Rrrttttttt!”
Terjadilah satu hal luar biasa. Larikan sinar biru yang keluar dari ujung jari si gadis berputar menjerat kedua pergelangan tangan Wiro, tidak beda seperti ikatan seutas tali.
Hanya saja tali yang mengikat erat Wiro saat itu berbentuk aneh yaitu berupa lingkaran mengeluarkan sinar biru. Ketika Wiro berusaha melepaskan ikatan itu ternyata dia tak mampu menggerakkan tangannya sedikit pun.
“Bawa dia ke bukit Batu Putih!” Ratu Duyung berikan perintah.
Dua orang anak buahnya segera mendorong tubuh Pendekar 212.
“Ratu,” kata Wiro begitu dia sampai di hadapan Ratu Duyung. “Aku tidak bermaksud berbuat yang bukan bukan. Apa lagi berani berlaku kurang ajar. Apa yang kulakukan terdorong dari rasa ingin tahu. Apa yang ada di sini di luar kemampuan akalku untuk mencerna. Aku…”
Ratu Duyung goyangkan kepalanya. Empat orang gadis dengan cepat membawa Wiro meninggalkan tempat itu. Setelah melalui jalan cukup jauh dan berliku liku mereka sampai di satu pedataran batu. Semua batu yang menumpuk di sini berwarna putih. Di langit sang surya bersinar sangat terik seolah hanya beberapa jengkal saja di atas kepala.
Wiro merasa tubunya seperti dipanggang. Dia ditarik kebalik sebuah batu besar. Ketika sampai di balik batu itu terkejutlah Wiro. tersandar pada batu besar itu terpentang sosok tubuh gendut Dewa Ketawa. Dua larik sinar biru membentuk tali mengikat tubuhnya ke batu besar itu hingga dia tidak mampu bergerak sedikit pun. Keringat membasahi sekujur tubuhnya. Kulitnya kelihatan merah oleh teriknya sinar matahari.
“Walah…! Sobatku gendut! Kau sudah duluan rupanya!” ujar Wiro.
“Hemmmm….” Dewa Ketawa menyahut dengan gumaman. Sesaat kemudian dia mulai tertawa tawa.
“Dasar manusia kurang waras. Dalam keadaan seperti ini masih bisa ketawa dia!” kata Wiro dalam hati setengah merutuk.
Wiro sandarkan pada sebuah batu besar di samping Dewa Ketawa diikat.
Seorang gadis tudingkan ujung jarinya ke tubuh Pendekar 212. Ketika jari itu digerakkan maka larikan sinar biru berubah menjadi tali berkilauan, mengikat Wiro ke batu di belakangnya. Keadaan ini tidak beda dengan si Dewa Ketawa. Bedanya dua tangannya masih tetap terikat tali bersinar biru.
“Ratu, kami menunggu perintahmu selanjutnya!” Seorang gadis anak buah Ratu Duyung berkata.

*
* *

DUA

BARU saja salah sorang gadis berkata begitu sosok Ratu Duyung muncul dan tegak sepuluh langkah di hadapan Wiro dan Dewa Ketawa. Dia memandang pada kedua orang itu beganti ganti lalu berkata.
“Menyesal aku telah menganggap kalian sebagai tamu tamu terhormat.
Ternyata kalian sama tak dapat dipercaya!”
Wiro menatap wajah cantik Ratu Duyung sesaat lalu berpaling pada Dewa Ketawa dan berbisik. “Sobatku Kerbau Bunting! Kau bilang dia menaruh hati padaku.
Kau lihat sendiri! Buktinya aku diikatnya seperti ini!”
Dewa Ketawa balas memandang Wiro lalu mukanya berubah. Sesaat kemudian dia tertawa gelak gelak.
“Gendut gila! Bagaimana dalam keadaan seperti ini kau masih bisa tertawa?!” damprat Wiro.
“Sssst…. Jangan memaki bicara tak karuan. Umur mungkin tak bakal lama. Kita tidak tahu hukuman apa yang bakal dijatuhkan orang orang itu. Yang jelas kalau aku mati pasti masuk sorga, kau jelas minggat ke neraka! Ha… ha… ha!”
“Enak saja kau bicara!” tukas Wiro lalu dia berpaling pada Ratu Duyung. “Ratu kalau aku memang bersalah, aku minta maaf. Tapi sobatku si gendut ini mengapa harus ikut menerima hukuman? Yang salah cuma aku sendirian. Harap kau suka membebaskannya….”
Para gadis anak buah Ratu Duyung menatap pimpinan mereka menunggu apa yang harus mereka lakukan selanjutnya. Sebaliknya Sang Ratu memandang pada Pendekar 212. Dalam hati dia berkata. “Aku melihat jiwa kesatria dalam dirinya. Tapi jika aku tidak menjatuhkan hukuman bagaimana wibawaku di mata para gadis ini….”
“Ratu, kami menunggu perintahmu!” seorang gadis berkata ketika dilihatnya Ratu Duyung hanya tegak tak bergerak, menatap ke arah Wiro. “Hukuman apa yang harus kami jatuhkan terhadap dua orang ini?!”
Ratu Duyung mendehem beberapa kali. Lalu berucap. “Orang bernama Dewa Ketawa telah berbuat dosa, melakukan kesalahan. Kalau bukan karena mulutnya maka kawannya ini tidak akan berbuat dosa kesalahan! Hukuman baginya adalah hukuman cabut lidah selama tiga hari!”
Dewa Ketawa…!” Wiro keluarkan seruan saking terkejutnya mendengar apa yang dikatakan Ratu Duyung. Dia berkata dengan suara keras pada Sang Ratu. “Ratu Duyung!
Sudah kubilang kawanku ini tidak bersalah. Aku yang jadi biang kerok! Bebaskan dirinya biar aku yang menerima semua hukuman. Kau boleh membunuhku agar puas! Seumur hidup belum pernah aku melihat perempuan sepertimu. Cantik selangit tapi kejam selangit tembus!”

Ucapan Pendekar 212 itu membuat wajah Ratu Duyung menjadi merah. Namun sikapnya tetap tenang. Sebaliknya di samping terdengar suara Dewa Ketawa tertawa gelak gelak.
“Kerbau Bunting!” teriak Wiro. “Orang hendak mencabut lidahmu, kau malah tertawa gelak gelak!” Kau benar benar sudah gila!”
“Ah, hukuman cabut lidah itu Cuma tiga hari mengapa harus ditakutkan?!” jawab Dewa Ketawa lalu kembali tertawa terbahak bahak.
“Lakukan hukuman!” Ratu Duyung memberi perintah.
Seorang gadis maju mendekati Dewa Ketawa yang seolah tidak peduli dan masih saja terus tertawa.
“Dewa Ketawa! Selamatkan dirimu! Lekas lari dari tempat ini!” Wiro kembali berteriak.
Kakek gendut itu berpaling padanya. “Kau sendiri apa sudah mencoba untuk bebaskan diri?!” balik bertanya Dewa Ketawa.
Wiro jadi penasaran. Dia kerahkan tenaga untuk melepaskan diri. Sampai tubuhnya basah oleh keringat ternyata dia tidak mampu melepaskan diri dari ikatan tali aneh yang mengeluarkan cahaya biru itu. Malah makin dipaksa tubuhnya terasa menjadi lemah.
“He… he…! Bagaimana? Apa kau mampu?” Tanya Dewa Ketawa sambil tertawa dan pencongkan hidungnya mengejek Wiro. “Sebelumnya aku sudah mencoba, tapi tak ada gunanya. Mereka memiliki ilmu aneh. Aku yang tua tidak mampu apalagi kau yang masih bau pesing! Ha…ha…ha!”
“Gendut sialan!” maki Wiro.
“Lakukan hukuman!” Tiba tiba Ratu Duyung berseru, memberi perintah untuk kedua kalinya.
Dua orang gadis maju ke hadapan Dewa Ketawa.
“Dewa Ketawa, sebelum hukuman dijatuhkan, kau kami beri kesempatan untuk tertawa sepuasmu!” kata Ratu Duyung pula.
Kakek gendut itu pandangi sang Ratu sesaat. “Kau mau berbaik hati memberi kesempatan. Aku berterima kasih untuk itu,” kata Dewa Ketawa pula. Lalu dia mulai tertawa. Mulutnya makin lebar dan suara tawanya semakin keras. Gadis di samping kanan tiba tiba jentikkan jarinya. Saat itu juga tubuh Dewa Ketawa menjadi kaku. Suara tawanya lenyap dan mulutnya dalam keadaan terbuka lebar.
“Cabut lidahnya!” perintah Ratu Duyung.
Gadis di sebelah kiri kini yang maju. Tangannya bergerak cepat ke arah mulut Dewa Ketawa yang terbuka lebar. Wiro merasa ngeri untuk menyaksikan. Dia membuang muka.
“Kreeeeekk!”
Tenguk Pendekar 212 merinding dingin mendengar suara itu. “Pasti lidahnya sudah dicabut….! Manusia manusia ganas!” Perlahan lahan Wiro palingkan kepalanya.
Dilihatnya Dewa Ketawa masih dalam keadaan kaku ternganga. Mulutnya penuh darah.
Wiro memperhatikan. Ternyata dalam mulut kakek gendut itu tak ada lagi lidah!
Sewaktu Wiro berpaling ke kanan dia melihat seorang gadis anak buah Ratu Duyung tengah meletakkan sebuah benda merah panjang bergerak gerak di atas baki kecil terbuat dari kerang. Lidah Dewa Ketawa! Wiro merasa kepalanya pening dan seperti mau muntah.
“Sekarang giliran pemuda berkulit hitam!” Tiba tiba terdengar suara Ratu Duyung. Murid Sinto Gendeng tersentak.
“Ratu…!” serunya.
“Kesalahan ada pada kedua matanya yang berani mengintip orang mandi.
Butakan dua mata itu selama tiga hari!”
“Ratu! Apa yang hendak kau lakukan?! Aku mohon!”
Teriakan Wiro itu tak ada gunanya. Saat itu seorang gadis anak buah Ratu Duyung yang bertubuh jangkung mendatanginya lalu menjentikkan tangannya. Serta merta sekujur tubuh Wiro menjadi kaku. Mulutnya pun tak mampu bersuara lagi! Gadis yang barusan menotok Wiro secara aneh maju lebih dekat. Dua tangannya bergerak cepat sekali ke arah matanya kiri kanan. Wiro merasa sepasang matanya dingin sekali.
Tapi hanya sesaat. Di lain kejap rasa dingin itu berubah dengan sengatan panas yang sakitnya bukan main. Wiro hendak berteriak namun mulutnya terkancing gagu! Pada saat itu juga dia tidak melihat apa apa lagi selain gelap mengelam dan menggidikkan.
“Ya Tuhan! Apa yang dilakukan mereka padaku?! Aku tak bisa melihat! Mereka mencungkil kedua mataku! Aku benar benar buta!”
Darah mengucur dari kedua mata Pendekar 212 yang kini hanya merupakan rongga dalam dan besar mengerikan. Darah mengucur membasahi pipi. Dewa Ketawa yang menyaksikan kejadian itu cuma mampu kerenyitkan mata, tak bisa bergerak tak bisa keluarkan suara. Kalau saja dia tidak dalam keadaan tertotok, setelah menyaksikan kengerian itu sudah pasti dia akan tertawa gelak gelak. Ketika berpaling ke samping dilihatnya gadis jangkung tadi tengah meletakkan dua buah benda bulat putih hitam di atas sebuah baki kecil dari kerang laut.
“Gila! Apa betul dua benda itu sepasang mata anak setan itu…?” pikir Dewa Ketawa. Perutnya terasa mual. Tenggorokkannya seperti mau muntah. Tengkuk orang tua gendut ini jadi merinding. “Benar benar gila! Seumur hidup rasa rasanya baru sekali ini aku merinding ngeri!” Lebih lebih ketika dia coba melirik memperhatikan ke samping, melihat bagaimana keadaan muka Pendekar 212 sekarang! Muka pemuda ini kini terpentang tanpa sepasang mata!
“Dunia aneh…Bagaimana mereka bisa melakukan keganasan ini?! Tapi…eh, apakah aku merasa sakit sewaktu lidahku dicabut? Memang aku melihat ada darah mengucur dari mulut. Tapi mengapa aku taidak merasa sakit sama sekali? Kuharap Sobatku Muda itu juga tidak merasa sakit walau kedua matanya dicungkil begitu rupa!
Hukuman gila macam apa ini! Aku kepingin tertawa, tapi mengapa tidak bisa? Celaka!
Kalau aku nanti tak mampu tertawa lagi selama lamanya akan kuobrak abrik tempat ini!
Akan kuhajar mereka semua! Tapi apakah aku tega melakukan itu terhadap para gadis yang cantik cantik itu? Ratu Duyung kau membuat aku betul betul sengsara. Hidup tanpa tawa…. Rasanya lebih baik mati saja!”
*
* *

TIGA

Malam terasa lebih dingin dari malam malam sebelumnya. Ini adalah malam ketiga atau malam terakhir Pendekar 212 Wiro Sableng dan kakek gendut berjuluk Dewa Ketawa menjalani hukuman, diikat secara aneh ke batu putih besar. Wiro dalam keadaan tanpa mata dan dilanda sakit terus menerus. Dewa Ketawa masih untung. Walau lidahnya dicabut namun tidak mengalami rasa sakit sedikitpun. Malah saat itu dia tengah tertidur nyenyak. Dari tenggorokkannya terdengar suara mengorok aneh padahal dia dalam keadaan tertotok hingga tak mampu bergerak dan seharusnya juga tak mampu bersuara.
Sepasang telinga murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede tiba tiba mendengar sesuatu. Bersamaan dengan itu dia merasakan adanya tekanan tekanan halus yang menggetarkan batu yang dipijaknya.
“Dewa Ketawa, bangunlah!” ujar Wiro. Tapi suaranya tidak keluar. Pemuda ini lupa kalau dirinya berada dalam keadaan tertotok hingga tak mampu bersuara. Ketika dia tidak mampu mendengar suaranya sendiri baru dia sadar. Dalam hati dia berkata.
“Ada seseorang mendekati tempat ini. Pasti Ratu Duyung…Hemmm… Mau apa dia kemari? Menambah siksaan lagi?! Sialan! Kalau saja mereka tidak mencungkil mataku pasti aku dapat melihat tampang makhluk cantik tapi kejam itu! Kalau saja mulutku bisa berucap pasti sudah kusemprot dia saat ini!”
Langkah langkah orang yang mendatangi lenyap. Namun Wiro dapat menduga kalau orang itu berhenti dan tegak sekitar beberapa langkah di hadapannya. Dia dapat mendengar hembusan napas orang ini dan hidungnya mencium bau tubuhnya yang harum.
“Saudara…” satu suara perempuan menegur.
“Hemmm… bukan Ratu Duyung,” membatin Pendekar 212.
Lalu ada jari jari tangan mengelus pangkal lehernya. Serta merta jalan suara Wiro terbuka dan dia mampu berbicara namun yang keluar saat itu adalah suara mengeluh setengah mengerang.
“Kau pasti tersiksa dalam hukumanmu…” perempuan di hadapan Wiro kembali berkata.
“Namanya saja dihukum. Siang dipanggang sinar matahari, malam diguyur embun dan udara dingin! Dan kedua mataku yang dicungkil sakitnya bukan kepalang.
Uh…! Katakan siapa kau adanya?! Kau bukan Ratu Duyung. Apa kau disuruh perempuan itu datang tanpa setahunya…”
“Uh…” Wiro mengeluh lagi. “Lalu apa maksud kedatanganmu diam diam kemari?”
“Kami…Maksudku anak buah sang Ratu yang melakukan hukuman telah kesalahan tangan. Sebelum dia menjatuhkan hukuman, dia lupa mematikan indera perasaan luarmu hingga selama ini kau pasti sangat tersiksa….”
“Kau ini bicara gila atau bagaimana? Setelah dua hari dua malam dipentang di sini kau datang dan bicara segala hal yang membuat aku jengkel! Dengar baik baik… Kalau aku nanti dilepas aku akan membalas semua ini! Bilang sama Ratumu dan pergi dari sini!”
“Jangan salah sangka. Aku datang untuk menolongmu…”
Wiro menyeringai. “Kau mampu membebaskanku?!”
“Tidak….”
“Kalau begitu lekas minggat dari hadapanku!” bentak Pendekar 212.
“Dengar dulu. Sebenarnya aku memang bisa membebaskanmu. Tapi aku tak akan melakukan ketololan itu!”
“Mengapa tidak mau? Ketololan apa maksudmu?!”
“Kami di sini hidup di bawah perintah Ratu Duyung dan kami semua harus patuh.
Jika sampai salah dan dijatuhi hukuman, nasib kami akan celaka seumur hidup. Tak ada jalan kembali….”
“Tak ada jalan kembali? Apa maksudmu?” bertanya murid Sinto Gendeng.
“Aku tak bisa memberi penjelasan. Kuharap saja kelak kau bisa tahu sendiri.
Sekalipun aku mendorong membebaskan dirimu…”
“Dan mengembalikan dua mataku!” ujar Wiro pula.
“Ya…. Ya… membebaskan dan mengembalikan dua matamu….”
“Tunggu dulu… Jika dua mataku dikembalikan apa penglihatanku bisa wajar seperti semula? Kau tahu bola mata itu punya ribuan urat kecil kecil. Apa bisa bertaut lagi ke asalnya?”
“Jika dua matamu dipasang kembali penglihatanmu akan wajar seperti semula.
Malah…” Anak buah Ratu Duyung hentikan ucaapannya.
“Malah apa….?”
“Maafkan aku. Aku tak bisa memberi keterangan lebih jauh…. Seperti kataku tadi sekalipun kau bebaskan dan dua matamu kupasang lagi kau tak mungkin lolos dari tempat ini. Jangankan manusia biasa, setan atau jin pun tidak bisa keluar dari tempat ini jika tidak dikehendaki oleh Ratu Duyung….”
“Tobat, tempat celaka macam apa ini!” kata Wiro mengumpat dan memaki.
“Dengar, aku hanya bisa menolong melenyapkan rasa sakit yang kau rasakan saat ini…”
“Percuma….! Setelah dua hari dua malam aku dipentang tersiksa seperti ini kau baru datang! Aku yakin kau hanya hendak menyiasati diriku….”
“Kau salah sangka….” Kata anak buah Ratu Duyung lalu ujung jari tangan kirinya ditusukkan ke dada Wiro. Saat itu juga segala rasa sakit yang diderita Pendekar 212 serta merta lenyap.
“Hmmm….”Murid Sinto Gendeng bergumam.”Ternyata kau tidak dusta….Aku menghaturkan terima kasih.”
“Sekarang aklu harus pergi. Sebelum pergi aku terpaksa menutup jalan suaramu kembali…”
“Tunggu!” ujar Wiro. “Dua mataku itu, kau tahu dimana disimpannya?”
“Sang Ratu sendiri yang menyimpan. Kurasa di kamar tidurnya….”
“Sudah….Aku pergi sekarang…..”
“Sebentar, katakan siapa namamu….”
“Di tempat ini tidak satu pun dari kami mempunyai nama….”
“Benar benar edan! Masakan orang tidak punya nama….?!”
”Aku tidak bisa menerangkan . Aku harus pergi….”
“Wiro berpikir, mengingat ingat. “Aku tahu…. Kau pasti gadis jangkung yang menotok dan mencungkil kedua mataku….” Si gadis tercekat.
“Gadis jangkung, aku ingin tahu mengapa kau mau menolongku?” bertanya Wiro.
“Mengapa kau mau bersusah susah menolongku?”
“Sebenarnya aku akan menolong sejak hari pertama kau dibawa dan diikat di tempat ini. Tapi penjagaan ketat sekali. Temanmu si gemuk itu lebih beruntung karena perasaannya dihilangkan lebih dulu hingga walau lidahnya dicopot dia tidak merasa apa apa…”
“Kau belum menjawab mengapa kau menolongku!” kata Wiro kembali.
“Tak bosa kuterangkan. Aku mendengar ada yang datang….” Lalu cepat sekali gadis di hadapan Wiro pergunakan telunjuk tangan kanannya menggurat leher pemuda itu. Saat itu juga Pendekar 212 tak bisa bicara lagi.
*
* *
SIANG hari ketiga. Matahari bersinar terik. Panasnya bukan kepalang seolah
berada tepat di atas kepala. Baik Dewa Ketawa maupun Wiro saat itu tiba tiba mendengar langkah langkah kaki mendatangi. Lebih dari satu orang. Lalu terdengar suara seseorang yang dikenalinya bukan lain suara Ratu Duyung.
“Hukuman telah berakhir. Kembalikan lidah tamu bernama Dewa Ketawa itu ke dalam mulutnya!”
Sepi sesaat. Lalu Wiro mendengar langkah langkah kaki mendekati sosok Dewa Ketawa yang terpentang dalam keadaan terikat di batu putih. Sepasang mata kakek sakti ini perhatikan gadis jangkung melangkah ke hadapannya. Di sebelahnya ada gadis lain yang melangkah sambil membawa baki dari kerang. Di atas baki kelihatan sebuah benda merah berdarah bergerak gerak.
“Gila! Itu lidahku sendiri!” Dia merasa ngeri melihat lidahnya sendiri yang lenyap selama tiga hari.
Gadis jangkung ambil benda di atas baki kerang. Tangannya bergerak cepat.
“Cleeppp!”
Wiro sempat mendengar suara itu. Sunyi sesaat . Dewa Ketawa berusaha menggerakkan mulutnya tapi tak mampu karena masih dalam keadaan tertotok.
“Lidah sudah dipasang kembali Ratu. Kami menunggu perintah lebih lanjut!” anak buah sang Ratu yang bertubuh jangkung memberi tahu.
“Lepaskan ikatan tali sakti biru!” Ratu Duyung menjawab.
Gadis jangkung acungkan jari telunjuk tangan kanannya. Ujung jari membersitkan sinar biru. Ketika ujung jari itu diarahkan pada tali yang melibat tubuh Dewa Ketawa, terdengar suara letupan berkepanjangan. Tali itu serta merta lenyap tanpa bekas. Dewa Ketawa merasa lega namun dia masih tak mampu bersuara dan bergerak.
“Lepaskan totokannya. Buka jalan darah dan pengunci uratnya!” Terdengar kembali suara Ratu Duyung.
Anak buah Sang Ratu yang bertubuh jangkung usapkan tangan kanannya di atas leher Dewa Ketawa lalu menekan bagian dada orang tua itu dengan ujung jarinya.
“Eh…eh…eh!” terdengar suara Dewa Ketawa. Dia gerakkan kedua tangannya.
Mulutnya dubuka lebar lebar. Lalu terdengar suara tawanya menggelegar. “Tiga hari tiga malam tak bisa ketawa! Sekarang aku mau tertawa sepuas puasnya!” katanya sambil pukul pukulkan tangan kanannya ke dada!
Semua orang yang ada di tempat itu, termasuk Ratu Duyung yang berkepandaian paling tinggi diantara mereka getaran hebat pada gendang telinga masing masing.
Mereka terpaksa tutup jalan pendengaran dengan telapak tangan. Malang bagi Penekar 212 karena dia masih dalam keadaan terikat dan tertotok tak bisa pergunakan dua tangan untuk menekap telinga. Dua lobang telinganya seperti ditusuk paku! Kepalanya seperti meledak ledak.
“Kalau setan alas Kerbau Bunting ini tidak hentikan tawanya, telingaku bisa pecah!” ujar Wiro dalam hati.
Mendadak Dewa Ketawa memang hentikan tawanya. Sambil menatap kearah Ratu Duyung dalam hati dia berkata. “Aneh, mengapa suara tertawaku jadi begitu dahsyat? Seolah olah ada satu kekuatan hebat dalam tubuhku. Bukan… bukan di tubuhku, tapi di mulutku! Tepatnya di lidahku! Hemmm…. Apa sebenarnya yang telah dilakukan perempuan cantik ini padaku? Ada satu keanehan, satu rahasia dibalik hukuman yang dijatuhkannya padaku. Jangan jangan…
Setelah menatap sejurus lagi pada Ratu Duyung Dewa Ketawa lalu berkata. “Ratu… Aku yang tua ingin bertanya….”
Ratu Duyung angkat tangan kanannya dan memotong ucapan Dewa Ketawa.
“Hukumanmu sudah diakhiri. Kau kini bebas pergi. Sebenarnya sesuai undangan masih ada dua hari waktu tersisa bagimu di tempat kami. Namun dengan berat hati aku terpaksa memintamu untuk pergi sekarang juga… Di lain waktu mungkin kami akan melayangkan undangan lagi untukmu berkunjung ke sini….”
Ratu Duyung berpaling pada empat orang anak buah yang ada di dekatnya lalu berkata. “Antarkan tamu kita ke Pintu Gerbang Perbatasan….”
Dewa Ketawa hendak mengatakan sesuatu namun sadar kalau tak ada kemungkinan lagi baginya untuk membuka mulut, apalagi membantah putusan sang Ratu maka diapun menjura lalu berkata. “Ratu Duyung, aku mengucapkan terima kasih atas segala kebaikanmu…” habis berkata begitu Dewa Ketawa berpaling pada Wiro.
“anak ini… kalau aku pergi nasib apa yang bakal menimpanya. Mudah mudahan saja dia mendapatkan sesuatu yang tidak lebih buruk dari aku…” Sekali lagi Dewa Ketawa menjura pada Ratu Duyung lalu dia melangkah mengikuti empat orang anak buah Ratu Duyung yang mengapitnya meninggalkan tempat itu.
“Heran tua Bangka gendut itu!” Pendekar 212 berkata dalam hati. “Sudah dijatuhi hukuman malah masih mau bilang terima kasih. Dasar gendut geblek!”
“Ratu, kami siap menjalankan perintah selanjutnya!” Gadis jangkung anak buah Ratu Duyung memberi tahu sesaat kemudian.
Sang Ratu mengangguk. Seorang anak buahnya yang lain muncul sambil membawa sebuah baki kerang. Di atas baki itu terletak dua buah benda yang bukan lain adalah sepasang mata Pendekar 212.
“Kembalikan kedua matanya!” ujar sang Ratu.
Gadis bertubuh jangkung melangkah ke hadapan Wiro. Gadis yang membawa baki kerang juga ikut mendekat. Saat itu Wiro mencium bau harum memasuki jalan pernapasannya. “Hemmm….pasti dia ini gadis yang kemarin mendatangiku….” Selagi Wiro berpikir seperti itu tiba tiba dia mendengar suara “Cleppp! Clepp!” Bersamaan dengan itu dia merasa ada dua benda berhawa sejuk masuk ke dalam rongga matanya kiri kanan. Di saat yang sama kegelapan selama tiga hari tiga malam menyungkup pemandangannya kini lenyap.
“Astaga! Aku bisa melihat lagi!” Wiro berteriak dalam hati. Yang pertama sekali dilihatnya adalah satu wajah cantik berada dekat di depannya. Wajah gadis jangkung anak buah Ratu Duyung. “Ah, si penolongku ternyata berwajah paling cantik diantara semua gadis di tempat ini…” ujar Wiro. Walau tidak mengerti bagaimana semua ini bisa terjadi, namun disamping bersyukur sifat usilnya kembali muncul. Wiro kedipkan mata kirinya pada gadis jangkung di hadapannya, membuat gadis ini menjadi merah wajahnya dan cepat cepat melangkah mundur. Tapi langkahnya tertahan ketika sang Ratu memberi perintah.
“Lepaskan ikatan. Bebaskan dirinya dari totokan!”
Gadis jangkung kembali maju mendekati Wiro. Tangan kanannya diangkat.
Telunjuk diacungkan. Begitu ujung jarinya mengeluarkan sinar biru segera dia arahkan ujung jari itu pada tali biru sakti yang mengikat sekujur tubuh Wiro ke batu putih.
Seperti waktu tadi membebaskan Dewa Ketawa tali sakti itu keluarkan suara letupan berkepanjangan dan baru berhenti setelah seluruh tali gaib secara aneh.
Dengan ujung jari yang sama gadis jangkung itu kemudian mengusap leher Wiro dan menotok dadanya. Serta merta jalan suara yang membuat sang pendekar menjadi gagu musnah. Begitu dia bisa kedipkan mata kirinya pada si gadis jangkung seraya berkata. “Terima kasih…”
Wiro usap kedua matanya dan memandang berkeliling. Pemandanganku benar benar pulih seperti semula. Malah… eh… Apa benar ini? Dua mataku malah lebih tajam dari sebelumnya. Aku seperti mampu melihat…. Pendekar 212 berpaling pada Ratu Duyung dan menatap perempuan cantik jelita ini lekat lekat.
“Ratu, kami menunggu perintahmu selanjutnya. Apakah tamu yang satu ini akan kami antar juga ke Pintu Gerbang Perbatasan?”
“Dia tidak akan meninggalkan tempat ini!” jawab sang Ratu yang membuat Pendekar 212 jadi terkejut.
“Ratu, menurutmu hukumanku telah berakhir. Kau telah membebaskan kawanku si gendut Dewa Ketawa itu. Mengapa kau masih menahan diriku di sini…?” Tanya Murid Sinto Gendeng.
Ratu Duyung tidak menjawab. Menolehpun tidak pada Wiro. Sebaliknya sambil memutar tubuh meniggalkan tempat itu dia berkata pada anak buahnya. “Antarkan tamu ini ke Ruang Penantian!”
*
* *

EMPAT

Yang disebut Ruang Penantian ternyata sebuah ruangan kecil berbentuk segitiga.
Dua dinding terbuat dari batu berwarna merah sedang bagian depan terbuka merupakan jalan masuk. Empat orang anak buah Ratu Duyung memberi isyarat agar Wiro duduk di sebuah batu rata pada sudut segi tiga sebelah dalam. Setelah Wiro duduk di atas batu itu salah seorang anak buah Ratu Duyung berkata.
“Tetap di tempatmu sampai Ratu kami datang. Jangan coba coba meninggalkan ruangan ini walau satu langkahpun!”
Pendekar 212 garuk garuk kepala. “Rupanya aku masih sebagai tawanan di tempat ini…” katanya.
Gadis yang tadi berkata menjawab. “Hanya Ratu yang layak memberi tahu peri keadaan dirimu di tempat ini1”
Wiro melirik pada belahan baju hitam di bagian dada si gadis yang begitu lebar hingga buah dadanya tersembul menantang. “Kalau kau bersedia menemaniku di ruangan ini sampai seribu haripun aku bisa betah berada di sini…”
“Plakkk!”
Satu tamparan mendarat di pipi Wiro. Tidak terasa tapi cukup membuat Murid Sinto Gendeng ini jadi tersentak. Ketika dia bangkit berdiri hendak memegang tangan si gadis yang menampar, sambil mundur dua langkah gadis itu acungkan jari telunjuk tangan kanannya kearah Wiro. Melihat ujung jari yang memancarkan cahaya biru itu Pendekar 212 menjadi bimbang dan perlahan lahan dia duduk kembali ke atas batu rata di sudut ruangan.
Gadis yang barusan menampar putar tubuhnya. Tiga temannya mengikuti. Wiro hanya bisa usap usap pipi. Namun mendadak dia terlonjak karena dari atas bagian yang terbuka dari mana dia digiring masuk tiba tiba tujuh buah tiang besi sebesar betis menderu turun. Tujuh tiang ini berwarna merah membara dan memancarkan hawa panas! Sadarlah kini Wiro kalau dia memang masih tetap menjadi tawanan!
“Kurang ajar!” maki murid Sinto Gendeng. Dia melangkah ke arah tujuh besi tapi terpaksa mundur oleh hawa panas tang membersit. “Aku punya dugaan diriku akan diperlakukan semena mena. Sebaiknya aku mencari jalan lolos!” Maka murid Sinto Gendeng segera siapkan satu pukulan sakti. Setelah mengerahkan tenaga dalam dia hantamkan tangan kanannya ke arah deretan besi besi panas membara.
“Wutttt!”
Pukulan “segulung ombak menerpa karang” menghantam empat jeruji besi dengan telak. Empat tiang besi itu memancarkan sinar merah menyilaukan dan panas luar biasa hingga Wiro melompat mundur ke sudut ruangan. Ketika dia memandang ke depan ternyata empat tiang besi itu jangankan ambrol, cacat sedikit pun tidak!
Penasaran Pendekar 212 segera siapkan pukulan “sinar matahari” Tangan kanannya serta merta berubah menjadi putih laksana perak berkilauan. Pada saat dia hendak menghantam ke depan tiba tiba sesosok tubuh muncul diseberang tiang tiang besi itu. Satu suara menggema di Ruang Penantian.
“Mengapa menghabiskan tenaga? Tidak ada satu pukulan saktipun yang sanggup menembus pagar besi panas itu!”
Wiro turunkan tangannya. Memandang ke depan dilihatnya Ratu Duyung tegak seorang diri di seberang ruangan.
“Ratu, apa maksudmu menahan diriku di sini?!” tanya Wiro.
Sang Ratu tidak segera menjawab tapi melangkah mendekati tiang tiang besi.
Lalu enak saja kedua tangannya memegang dua tiang yang panas dan merah membara itu. Padahal jangankan tangan manusia, sepotong besipun jika ditempelkan ke tiang yang membara itu pasti akan leleh! Sebaliknya sang Ratu tenang tenang saja seolah memegang tiang besi yang dingin!
“Aku tidak menahanmu. Aku hanya ingin kepastian!” Rati Duyung menjawab.
Wiro megerenyit tak mengerti. “Kepastian apa?”
“Bahwa kau dan kawanmu Dewa Ketawa itu tidak menipuku!”
“Eh, memangnya aku sudah berbuat apa? Aku memang mengaku salah telah mengintip anak anak gadismu mandi di telaga. Tapi aku sudah menerima hukuman!
Sekarang sepertinya kau sengaja mencari cari kesalahan lain…Apa sebenarnya yang ada dalam pikiranmu Ratu? Mengapa kau tidak membebaskan diriku seperti kau membebaskan Dewa Ketawa?”
Ratu Duyung menjawab. “Pada saatnya kaupun akan kubebaskan. Tapi aku perlu membuktikan satu hal bahwa kau benar benar Pendekar 212 dan bahwa kulitmu yang hitam itu benar benar akibat sejenis obat…”
“Astaga! Bukankah Dewa Ketawa sudah meyakinimu bahwa aku adalah Pendekar 212 dan kau telah mempercayainya….”
“Betul, tapi dalam hidup keyakinan itu bisa berubah. Karenanya aku perlu membuktikan. Kau berkata bahwa kulitmu yang hitam akibat obat yang kau telan.
Diberikan oleh seseorang untuk menyelamatkan nyawamu. Kau juga menerangkan warna kulitmu yang hitam itu bisa hilang bila tersentuh sinar bulan purnama. Nah itu yang harus kita buktikan. Jika ternyata kelak sentuhan sinar rembulan tidak merubah kulitmu, berarti kau telah menipuku. Kau bukan Pendekar 212 Wiro Sableng!”
Sesaat Wiro jadi terdiam. “Apa yang aku lakukan padamu adalah sesuai dengan yang diucapkan penolongku. Kalau dia berdusta apakah aku bisa disalahkan?”
“Mungkin si penolong yang berdusta, mungkin juga kau!” Kita akan buktikan.
Dua malam lagi bulan purnama empat belas akan muncul. Itu saatnya kau akan membuktikan siapa dirimu…”
“Dua malam lagi….?” Mengulang Wiro. “Menurut perhitunganku bulan purnama baru muncul di langit sekitar dua belas hari lagi!”
Ratu Duyung tertawa. “Di tempat ini waktu berputar sepuluh hari lebih cepat dari duniamu sana. Kau tenang tenang saja menunggu di ruangan ini. Jika memang kau Pendekar 212 sejati dan apa yang dikatakan penolongmu benar, mengapa harus takut…?”
“Siapa bilang aku takut?!” tukas Wiro yang tidak dapat lagi menahan jengkelnya.
Ratu Duyung membalikkan tubuhnya. Waktu membalik belahan bajunya di bagian pinggul tersingkap lebar. Jantung Wiro jadi berdegup keras malihat paha, pinggul dan bahkan bagian pinggul sebelah atas sang Ratu. Sesaat kemarahannya menjadi kendur. Tanpa banyak bicara dia duduk di atas batu datar.
“Kau tentu lapar. Aku akan suruh anak buahku mengantarkan buah buahan,” kata Ratu Duyung pula sebelum berlalu dari tempat itu. Murid Sinto Gendeng tak menjawab. Matanya masih memandangi sosok tubuh bagian bawah sang Ratu sampai akhirnya perempuan cantik itu lenyap di balik kelokan lorong batu.
Berada sendirian karena tak tahu apa yang harus dilakukannya Wiro duduk bersandar ke dinding batu merah. Dia ingat pada gurunya Eyang Sinto Gendeng. Lalu pada si Raja Penidur dan Kakek Segala Tahu. Dia seperti menyesali karena menganggap gara gara tiga orang sakti itulah dia sampai tersesat dan kini mendekam di ruangan ini.
Dia ingat pula pada kitab Putih Wasiat Dewa yang sampai saat ini masih belum jelas dimana beradanya. Lalu muncul tampang buruk orang bercaping dan berpenyakit cacar dengan perahu putihnya itu. Wiro menarik napas panjang. Tiba tiba dia ingat pada Bidadari Angin Timur. Sejak peristiwa mereka mencebur masuk ke dalam telaga beberapa waktu lalu dia merasa ingin selalu dekat dengan gadis itu. “Di mana dia sekarang…? Ah, waktu di atas perahu putih…Kalau saja dia melihatku…Lalu bila aku bisa selamat keluar dari sini kurasa lebih baik mencari gadis itu lebih dulu dari pada mencari Kitab Putih Wasiat Dewa. Aku merindukannya! Gila! Apa ini yang dinamakan jatuh cinta?!” Murid Sinto Gendeng garuk garuk kepala. Ketika ingatannya sampai pada senjata mustikanya, Wiro jadi menarik napas dalam lagi. “Tiga Bayangan Setan, Elang Setan…. Dua bangsat itu akan kupecahkan kepala mereka!”
Wiro bangkit berdiri lalu melangkah mundar mandir di ruangan yang tak seberapa besar itu. Tiba tiba dia mendengar langkah langkah kaki di ujung lorong. Tak Lama kemudian muncul seorang gadis berpakaian hitam. Di tangannya dia membawa sebuah baki berisi beberapa macam buah buahan. Pada pinggangnya tergantung sebuah kendi kecil. Sesaat kemudian gadis ini sampai di depan tujuh tiang besi merah panas. Dia menatap Wiro sebentar lalu baki dimiringkannya. Aneh!” Walau baki dimiringkan, buah buahan yang ada di atasnya sama sekali tidak berjatuhan! Lewat celah kecil antara dua buah tiang besi si gadis meloloskan baki berikut buah buahan itu.
Baik baju hitam maupun tangannya sama sekali tidak cedera ketika bersentuhan dengan dua tiang besi.
“Lekas ambil…” kata si gadis pada Wiro.
“Aku tidak lapar.!” Jawab Pendekar 212.
“Jangan tolol!” si gadis membentak halus. Karena Wiro tak mau mengulurkan tangan untuk mengambil baki berisi buah buahan itu si gadis lalu melemparkan baki ke dalam ruangan. Baki jatuh tepat di atas batu datar, tidak bersuara dan tak satupun buah buahan di atasnya menggelinding jatuh!
“Ini…!” si gadis ulurkan kendi kecil.
“Apa isi kendi itu?” tanya Wiro.
“Air!” jawab si gadis. “Itu diberikan atas perintah Ratu. Dan aku menambahkan sejenis bubuk ke dalamnya agar kau mampu bertahan selama dua hari…”
“Hemmm…. Kau bermaksud baik padaku. Aku mengucapkan terima kasih,” kata Wiro seraya ulurkan tangan kirinya untuk menerima kendi kecil itu. Begitu Wiro memegang kendi, si gadis cepat ulurkan jari jarinya memegang lengan Pendekar 212 dan berbisik.
“Dengar, aku bisa menolongmu keluar dari tempat ini. Kau bisa bebas kembali ke duniamu. Tapi dengan satu perjanjian…”
Wiro pandangi wajah si gadis. Dia memang cantik namun dibandingkan dengan gadis jangkung serta sang Ratu kecantikannya belum bisa menyamai.
“Perjanjian apa?” tanya Pendekar 212.
“Kau harus ganti menolongku.”
Wiro garuk garuk kepalanya.” Setahuku tak seorangpun di tempat ini bisa membebaskan diriku. Ratumu sangat sakti dan para pengawaknya, teman temanmu itu menjaga setiap sudut dengan ketat.”
Gadis itu tersenyum. “Mereka semua memang tidak bisa berbuat apa apa karena mereka tidak tahu apa yang aku tahu.”
Eh, apa yang kau ketahui!”
“Aku tahu rahasia membuka tujuh tiang besi panas itu. Aku juga tahu rahasia yang mereka tidak tahu…”
Wiro tersenyum. “Kau gadis baik. Tapi pertolonganmu mungkin akan sia sia belaka. Kau bisa celaka kalau sang Ratu mengetahui pengkhianatanmu…”
“Aku tidak berkhianat pada siapapun, juga terhadap sang Ratu. Aku hanya ingin membebaskan diri keluar dari tempat ini. Dan cuma kau yang bisa menolongku!”
“Aku tak mampu menolong diriku sendiri. Bagaimana aku bisa menolongmu?” tanya Wiro.
“Kau pasti bisa. Dengar, aku akan segera membuka tujuh tiang besi panas ini.
Setelah itu kau akan menyebadaniku di situ…”
“A…Apa?!” tanya Wiro dengan bola mata membesar lalu melirik ke belahan dada si gadis dengan jantung berdebar. “Mengapa aku harus menyebadanimu?!”
“Itu satu satunya jalan. Dengar, kita tidak punya waktu banyak. Nanti akan kuterangkan…”
Wiro geleng gelengkan kepala. Dalam hati dia berkata. “Waktu aku ketahuan mengintip mereka mandi, mataku dicopot tiga hari. Kalau aku tertangkap basah menyebadani gadis satu ini pasti anuku akan ditanggalkan. Bukan cuma tiga hari! Bisa bisa selama lamanya! Celaka diriku!”
Selagi Wiro berpikir begitu tiba tiba dia mendengar suara berdesir. Astaga! Wiro melihat tujuh jalur tiang besi panas membara perlahan lahan naik ke atas! Makin lama makin tinggi. Pada saat ketinggian mencapai sepinggul tiba tiba satu bayangan berkelebat menyusul bentakan keras.
“Tidak kusangka! Ada pengkhianat di tempat ini!”
Gadis di depan Wiro menjadi pucat pasi. Keluarkan suara tertahan lalu jatuhkan diri ketakutan setengah mati!
*
* *

LIMA

Ratu Duyung tegak dengan tangan kiri diletakkan di pinggang. Dia lambaikan tangan kanannya. Tujuh tiang besi yang tida naik ke atas perlahan lahan kembali turun menutup ruangan segi tiga itu.
“Berdiri!” bentak sang Ratu.
Gadis baju hitam yang mendekam di lantai perlahan lahan berdiri. Tubuhnya bergetar hebat dan wajahnya seputih kain kafan.
“Kau tahu kesalahanmu?!” bentak sang Ratu.
“Sa…Saya tahu Ratu….”
“Katakan!”
“Saya …. Saya berkhianat. Saya hendak membebaskan pemuda ini. Saya tahu saya salah…”
“Itu kesalahan pertama dan bisa kuanggap kecil. Tapi lekas katakan kesalahanmu yang kedua yang sangat besar dan tak ada ampunannya!”
“Saya….. saya hendak membuka satu rahasia pada pemuda ini. Saya mengajaknya……”
“Cukup!” bentak sang Ratu. “Kau tahu apa hukuman yang bakal kau terima?!”
Si gadis mengangguk dan jatuhkan diri ke lantai. Kelihatannya dia pasrah menerima hukuman karena tak mungkin mengelak tak mungkin minta ampun.
Ratu Duyung angkat tangan kanannya. Jari telunjuk tiba tiba mengeluarkan cahaya biru angker. Perlahan lahan jari itu ditudingkan, turun ke arah sosok tubuh anak buahnya yang berlutut di lantai.
Ujung jari bergerak tiga kali berturut turut. “Wuttt! Wuttt! Wuttt!”
Cahaya biru berkiblat. Gadis di lantai keluarkan pekikan panjang. Lalu terputus!
Ketika Wiro menatap ke depan, dinginlah tengkuk murid Sinto Gendeng ini!
Diantara kepulan asap yang menebar bau sangit seperti daging dipanggang Wiro melihat sisa tubuh si gadis kini hanya tinggal jerangkong alias tulang belulang berwarna biru!
“Ilmu kesaktian apa yang barusan dilancarkan perempuan ini hingga dalam sekejapan bukan saja membunuh anak buahnya tapi juga merubahnya menjadi jerangkong!” Murid Sinto Gendeng membatin. Lalu pandangannya dialihkan pada wajah Ratu Duyung yang tampak dingin, tenang seolah tak ada terjadi apa apa di tempat itu.
Dia membunuh gadis cantik anak buahnya seperti membalikan telapak tangan saja! Saat dia memandangi Ratu Duyung seperti itu, sang Ratu tiba tiba palingkan mukanya ke arahnya. Pandangan mereka saling beradu. Untuk beberapa lamanya tak ada yang mau menghindar ataupun berkesip. Pendekar 212 tak mau menghindar ataupun berkesip.
Pendekar 212 tak mau mengalah. Dia memandang terus hingga diam diam Ratu Duyung merasa getaran aneh menjalari tubuhnya. Perempuan ini masih berusaha terus menantang pandangan Wiro namun akhirnya sambil menjentikan dua jari tangan kanannya dia memandang ke langit langit di atasnya. Tak lama setelah suara jentikannya menggema di sepanjang lorong batu, empat orang gadis berpakaian hitam muncul.
“Singkirkan sampah tak berguna ini!” kata sang Ratu sambil menggoyangkan kepalanya ke arah tulang belulang yang bergeletakan di lantai.
Empat anak buah Ratu Duyung segera melakukan apa yang diperintahkan. Tak lama setelah jerangkong biru diangkat dari tempat itu Ratu Duyung balikkan tubuhnya Sebelum mengerling ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.
*
* *
Berselang dua hari empat orang anak buah Ratu Duyung muncul di depan Ruang Penantian. Keempatnya langsung menekap hidung karena penciuman mereka disengat oleh bau pesing.
Wiro Sableng tertawa lebar. “Masih untung aku hanya kencing di tempat ini. Kalau aku buang air besar baru kalian rasa! Dua hari disekap tanpa diperkenankan keluar apa tidak gila?!”
“Tak usah banyak bicara. Lekas keluar dan ikuti kami!”kata salah seorang dari empat gadis.
Kawannya menambahkan. “Jangan coba coba melarikan diri. Selain tak bakal bisa lolos dari tempat ini, salah salah kau bisa menemui ajal seperti gadis yang coba berkhianat dua hari lalu!”
Wiro keluar dari Ruang Penantian. Sambil melangkah dia menjawab. “Empat orang gadis cantik minta aku mengikuti. Tolol kalau aku melarikan diri. Mau kalian bawa kemana aku ini?!”
“Pertama kau harus membersihkan diri di Pancuran Putih. Setelah itu kau akan kami bawa ke Bukit Awan Putih…” menerangkan salah seorang gadis.
Sesuai keterangan yang dikatakan tadi Wiro di bawa ke sebuah tempat dimana terdapat sebuah pancuran yang airnya berwarna aneh yaitu bening putih. Di tempat itu telah tersedia seperangkat pakaian hitam bersih lengkap dengan destar hitam.
Wiro memandang pada empat gadis pengawalnya lalu bertanya. “Kalian mau ikut mandi sama sama?”
“Jangan berani bicara kurang ajar!” sentak gadis di sebelah kanan. Dia memberi isyarat pada tiga kawannya lalu Wiro selesai mandi dan berpakaian ke empat gadis tadi tahu tahu sudah muncul lagi di tempat itu.
“Kalian pengawal pengawalku yang setia!” memuji Wiro sambil tersenyum.
“Cuma aku sangsi jangan jangan ketika aku mandi ada di antara kalian yang mengintip!”
“Pemuda bermulut lancang! Kalau tidak ingat perintah Ratu membawamu segera ke Bukit Awan Putih mau rasanya kami menghajarmu lebih dulu di tempat in!”
Wiro tertawa gelak gelak. “Sobatku cantik, aku hanya bergurau. Jangan diambil hati. Setiap hari kalian selalu menghadapi suasana yang mencengkam. Apa salahnya sekali sekali bergurau?!”
Empat orang gadis itu tidak menjawab. Mereka membawa Wiro memasuki sebuah lorong. Ketika keluar dari lorong itu Murid Sinto Gendeng jadi terheran heran. Di depannya dia melihat sebuah dataran tinggi. Ada empat jalur tangga batu menuju ke puncak pedataran di atas mana terdapat sebuah batu besar bulat berwarna hitam legam. Sekitar sepuluh tombak di atas batu kelihatan seperti ada awan putih menggantung. Memandang berkeliling yang membuat Wiro merasa heran ialah tempat itu berada dalam keadaan malam hari. Padahal sebelumnya, ketika dia mandi di pancuran hari masih siang!
Agak jauh di sebelah kanan batu hitam budar dan rata tampak di sebelah kanan batu hitam. Meskipun agak jauh namun Wiro segera bisa mengenali. Orang itu bukan lain adalah Ratu Duyung.
“Naiki tangga sebelah kanan, langsung tegak di atas batu batu bundar hitam.” Seorang gadis berpakaian hitam bicara pada Wiro.
Wiro memandang sekali lagi ke puncak pedataran tinggi.”Malam hari… Apa benar ucapan Ratu Duyung bahwa malam ini bulan purnama empat belas hari akan muncul? Aku sama sekali tidak melihat langit malam. Tak ada bintang bintang. Tempat apa sebenarnya ini…?!”
Satu tangan mendorong punggung Wiro seolah memaksanya agar segera menaiki anak tangga batu yang berundak undak sebanyak 77 buah itu. Kakinya terasa pegal dan napasnya agak memburu ketika dia akhirnya sampai di puncak pedataran tinggi dan naik ke atas batu rata hitam. Dari tempatnya berdiri dia memandang berkeliling. Di bawah sana semuanya kelihatan serba hitam. Di sebelah atas pemandangan tertutup oleh awan putih aneh. Wiro palingkan kepalanya ke kiri, ke tempat dimana Ratu Duyung berdiri sambil rangkapkan dua tangan di depan dada.
Angin malam bertiup kencang dan dingin menyibakkan belahan bajunya di bagian pinggul hingga auratnya tampak lebih putih dalam gelapnya udara.
“Ratu Duyung, aku tak tahu apa rencanamu! Apakah bulan purnama benar benar akan muncul di tempat ini?!” Wiro berseru pada Ratu Duyung.
Perempuan cantik itu diam tak bergerak seperti patung, juga tidak menjawab pertanyaan Wiro tadi.
“Ratu Duyung! Sebelum sampai di tempat ini hari masih siang! Bagaimana bisa tahu tahu kini hari berubah malam?!”
Ratu Duyung tetap tidak mau memberi dan tidak mau menjawab. Wiro lalu mengancam.
“Kalau sang Ratu masih tidak bergerak maupun menjawab Wiro segera gerakkan kakinya untuk melompat turun dari atas batu hitam. Namun gerakkannya tertahan ketika mendadak ada hembusan angin luar biasa kencangnya sehingga tubuhnya seperti mau terseret mental dari atas batu hitam. Di sebelah sana dilihatnya pakaian dan rambut Ratu Duyung berkibar kibar tapi tubuhnya tidak bergeming sedikitpun padahal Wiro setengah mati mempertahankan diri agar tidak diseret hembusan angin. Sadar tenaga luar tak mungkin membuatnya bertahan terhadap hembusan angin maka murid Eyang Sinto Gendeng ini segera kerahkan tenaga dalam, salurkan pada ke dua kakinya hingga sepasang telapak kaki Wiro laksana di pantek ke atas batu hitam itu!
Perlahan lahan angin keras surut. Bersamaan dengan itu keadaan di tempat itu berubah dari gelap menjadi terang temaram. Ketika dia mengangkat kepalanya Wiro jadi tertegun. Awan putih setinggi sepuluh tombak di atasnya perlahan lahan bergerak ke arah timur. Dari bagian yang tidak terhalang lagi merambas cahaya putih redup.
Makin jauh awan bergerak ke timur makin terang cahaya putih itu. Sepasang mata pendekar 212 mulai melihat langit jauh tinggi di atasnya. Bintang bintang bertaburan.
“Astaga! Itu langit betulan…” kata Wiro hampir tak percaya.
Lalu Pendekar 212 berdegup keras. Sedikit demi sedikit, dari balik sekelompok awan kelabu menyeruak mnuncul bulan purnama empat belas hari. Wiro melirik ke arah Ratu Duyung. “Perempuan itu tidak berdusta…” katanya. Langit dan pedataran tinggi bertambah terang begitu bulan purnama muncul semakin besar dan bulat. Cahayanya yang putih jernih jatuh di setiap benda di pedataran tinggi itu termasuk sosok tubuh Pendekar 212 yang tegak di atas batu hitam. Tiba tiba Wiro merasa sekujur permukaan kulit tubuhnya menjadi panas. Demikian panasnya hingga bukan saja mandi keringat tapi badannya bergetar keras. Kedua kakinya menjadi goyah. Dia kumpulkan seluruh tenaga agar tidak roboh.
Lalu entah apa yang terjadi tiba tiba ada letupan letupan kecil disertai kilatan kilatan cahaya putih di sekujur muka dan tubuhnya. Begitu letupan sirna hawa panas lenyap berganti dengan hawa dingin. Demikian dinginya hingga gerahamnya bergemeletukan. Tak sengaja Wiro memperhatikan ke dua tangannya. Dia hampir tak percaya. Kulit tangannya yang selama ini berwarna hitam pekat perlahan lahan berubah menjadi putih.
“Kulitku berubah… kembali ke warna semula…!” ujar Wiro gembira. Meskipun tubuhnya saat itu di selimuti rasa dingin luar biasa tapi kegembiraan membuat dia membuka baju hitamnya agar auratnya lebih sempurna terkena siraman cahaya bulan purnama!
“Aku sembuh! Aku sembuh! Terima kasih Tuhan…!”kata Wiro angkat kedua tangannya tinggi tinggi.Saat itu terbayang wajah Puti Andini, gadis baju merah berkepandaian tinggi yang muncul dengan payung tujuhnya. “Puti, dimanapun kau berada aku juga menghaturkan terima kasih padamu. Kau tidak berdusta. Kalau tidak berkat obat yang kau berikan aku sudah lama menjadi kerak tanah!”
Udara dingin berangsur angsur lenyap. Pada saat itulah empat sosok tubuh berkelebat di sampingnya. Mereka ternyata empat orang anak buah Ratu Duyung.
“Ratu meminta kami membawamu ke Ruang Pertemuan… Beliau siap memberikan wasiatnya padamu…” memberi tahu salah seorang dari empat gadis.
“Wasiat…Wasiat apa….?” Tanya Wiro. “Maksudmu Kitab Wasiat…?”
“Kau akan bertemu langsung dengan Ratu. Tanyakan saja secara langsung….”
Gadis di sebelah kanan mengambil baju hitam yang tercampak di atas batu lalu menyerahkannya pada Wiro sambil memberi isyarat agar dia segera mengenakan pakaian itu.
Sambil mengenakan pakaiannya Wiro perhatikan dadanya. Rajah tiga angka 212 yang selama ini lenyap tertindih warna hitam kulitnya kini muncul jelas kembali. Wiro tersenyum sambil usap usap dadanya. Dia melirik ke arah kiri tempat Ratu Duyung sebelumnya berdiri. Ternyata perempuan itu tak ada lagi di situ.
“Hai! Kenapa belum berjalan?! Tunggu apa lagi?!” Gadis di belakang Wiro bertanya sementara tiga kawannya di sebelah depan tampak tak sabaran ketika mereka melihat Wiro tegak di atas batu hitam datar.
“Tunggu dulu… Mengapa terburu buru? Aku tak akan kabur…!” jawab Pendekar 212. Lalu seperti dia hanya seorang diri saja saat itu murid Sinto Gendeng ini bukan ikat pinggang celana hitamnya. Empat gadis anak buah Ratu Duyung jadi berubah wajah mereka dan ada yang melangkah mundur.
“Apa yang hendak kau lakukan?!” salah seorang membentak.
“Jangan berani buat kurang ajar di hadapan kami!” satunya lagi menghardik.
“Siapa mau berbuat kurang ajar!” jawab Wiro tidak acuh. Begitu ikat pinggang terbuka dan celananya menjadi longgar, dia meneliti ke bagian aurat di balik celana. Lalu sambil mengangkat kepala dan merapikan ikat pinggangnya kembali pemuda ini senyum senyum sendiri.
“Pemuda aneh, dia seperti orang kurang waras tertawa sendiri!” bisik gadis sebelah kanan pada kawannya.
“Apa sebenarnya yang dilakukan orang ini?” balik bertanya kawannya.
Pertanyaan itu sempat terdengar oleh murid Sinto Gendeng. Tenang saja dia menjawab. “Kalian lihat sendiri keajaiban kulitku tadi. Cahaya bulan purnama membuat kulitku yang hitam kembali ke warna aslinya. Tapi aku masih meragu apakah aurat yang terlindung di balik celana ikut berubah warna. Makanya aku perlu menyelidik. Aku tidak mau jadi manusia belang. Putih di atas hitam di bawah. Ternyata….”
Wiro tidak teruskan ucapannya malah memandang pada empat gadis itu sambil tertawa lebar. Tentu saja mereka sama ingin tahu apa yang terjadi. Apakah perubahan warna kulit Wiro memang menyeluruh atau hanya setengah setengah. Tapi untuk bertanya tentu saja mereka tidak berani. Sebaliknya Wiro malah menggantung keterangan hingga empat orang anak buah Ratu Duyung itu menunggu sambil saling pandang.
“Ternyata…” kata Wiro pula. “Ternyata memang seluruh kulit tubuhku kembali ke warna asal. Termasuk…” Wiro tidak teruskan ucapannya tapi keluarkan suara tawa bergelak.
Empat gadis berpakaian hitam ketat tampak bersemu merah wajah masing masing.
*
* *

ENAM

Kita tinggalkan dulu Pendekar 212 Wiro Sableng yang tengah diantar menuju Ruang Pertemuan guna menemui Ratu Duyung. Kita ikuti perjalanan Tiga Bayangan Setan dan kawannya yang bernama Elang Setan. Seperti dituturkan dalam Episode II (Wasiat Dewa) dua orang manusia berhati setan itu setelah merasa berhasil membunuh Pendekar 212 di bukit dekat sumur batu di luar Kartosuro lalu berangkat menuju puncak Gunung Merapi tempat salah satu kediaman Pangeran Matahari. Kapak Maut Naga Geni 212 serta batu sakti hitam pasangan senjata sakti itu mereka rampas. Di puncak Gunung Merapi dua senjata mustika itu mereka serahkan pada Pangeran Matahari.

Tentu saja sang Pangeran gembira bukan main. Selain sudah memiliki Kitab Iblis kini dia juga menguasai dua senjata sakti milik musuh bebuyutannya itu. Dengan Kitab Iblis berada di tangannya dia merasa yakin walau dua senjata mustika itu masih berada di tangan Wiro dia akan sanggup menamatkan riwayat Pendekar 212. Apalagi kini Wiro tanpa dua senjata yang diandalkan itu!
Pertemuan dengan Pangeran Matahari, apalagi dapat menyerahkan Kapak Maut Naga Geni 212 serta batu sakti hitam di pihak lain juga menggembirakan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Mereka bukan saja menyenangkan hati Pangeran Matahari, tapi sekaligus juga bermaksud menagih janji mendapatkan obat penawar racun seratus hari yang dulu dicekokan sang Pangeran pada mereka.
Celakanya Pangeran Matahari tidak percaya begitu saja bahwa dua orang itu benar benar telah membunuh Pendekar 212. Karena itu dia menyuruh Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan untuk membawa potongan kepala murid Sinto Gendeng itu. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tidak bisa berbuat apa apa karena kembali Pangeran Matahari menipunya dengan berpura pura memberikan obat penawar racun padahal yang mereka telan adalah racun tiga ratus hari!
Melewati perjalanan yang jauh dan sulit akhirnya Tiga Bayangan Setan dan Elang Setang sampai di bukit di mana terletak sumur batu itu. Namun mereka sama sekali tidak menemukan mayat Pendekar 212. Tulang belulang atau jerangkongnya pun tidak!
“Celaka! Mayat pemuda itu tidak ada lagi di sini! Bekasnya pun tidak kelihatan!” kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan memandang berkeliling. “Bangkai bangkai lainnya masih berserakan di sekitar sini…” katanya memperhatikan tulang belulang beberapa tokoh silat yang menemui ajalnya di tempat itu beberapa waktu lalu.
“Jangan janganwaktu kita tinggalkan manusia itu belum benar benar mati…” kata Elang Setan.
Tiga Bayangan Setan jadi tak enak mendengar kata kata sahabatnya itu.
“Pukulan Raksasa Tiga Bayangan yang keluar dari batok kepalaku bukan pukulan sembarangan! Sekalipun dia punya tiga nyawa, kematian tak bakal lolos dari dirinya!
Aku menduga mayatnya dilarikan binatang buas yang menemukannya masih dalam keadaan segar…”
“Mudah mudahan saja begitu,”kata Elang Setan, lalu menambahkan, “Tapi jika dilihat mayat mayat lain yang ada di sini, tak satu pun ada yang disentuh binatang buas…” Elang Setan menepuk nepuk baju tebal dekilnya hingga debu yang menempel beterbangan ke udara.
“Kita harus mencari akal. Kalau kepala Pendekar 212 tidak bisa kita serahkan pada Pangeran Matahari, berarti nyawa kita berdua tidak ketolongan!” kata Tiga Bayangan Setan pula.
Untuk beberapa lamanya dua orang itu duduk di lereng bukit saling berdiam diri.
“Kau ingat kejadian waktu kita baru saja membunuh Pendekar 212…..?” Elang Setan tiba tiba membuka mulut.
“Kejadian yang mana?” tanya Tiga Bayangan Setan seraya coba mengingat ingat.
“Waktu itu di langit ada tujuh buah payung melayang. Seorang perempuan bergantung pada salah satu payung itu…”
“Aku ingat sekarang!” kata Tiga Bayangan Setan seraya bangkit berdiri.
“Siapapun makhluk yang terbang memakai payung itu pastilah dia seorang berkepandaian sangat tinggi. Pasti dia yang telah mengambil mayat Pendekar 212.
“Kita harus menyelidik! Mencari tahu siapa adanya perempuan berpayung itu!”
kata Elang Setan pula. “Setahuku tak pernah mendengar tentang seorang sakti berpayung. Kita harus menyebar orang untuk menyirap berita. Bagaimanapun mahalnya urusan ini nyawa kita jauh lebih mahal!”
“Apa rencanamu…? Mendatangi Kotaraja mencari berita?” tanya Tiga Bayangan Setan.
Elang Setan menggeleng. “Orang berkepandaian tinggi jarang mau berada di tempat ramai seperti Kotaraja. Aku yakin orang berpayung itu bukan tokoh silat berasal dari tanah Jawa ini. Besar kemungkinan dia datang dari seberang. Jika dia orang seberang kemunculannya di sini pastilah membawa satu maksud atau keperluan besar.
Mungkin dia juga mencari Kitab Iblis itu!”
Tiga Bayangan Setan angguk anggukkan kepala tanda setuju dengan jalan pikiran sahabat atau saudara angkatnya itu. “Kalau dia mencari Kitab Iblis berarti dia akan berhadapan dengan Pangeran Matahari! Tapi mungkin dugaan kita salah. Mungkin dia bukan mencari Kitab Iblis….”
“Sebaiknya kita membicarakan persoalan ini sambil meneruskan perjalanan…”
“Aku setuju. Tapi kemana tujuan kita dari sini?” tanya Tiga Bayangan Setan pula.
“Di Sleman ada dua orang yang perlu kita temui. Pertama seorang bekas juru ramal Kraton berasal dari Blambangan. Orang ini bisa diminta bantuan untuk melihat lihat secara gaib. Orang kedua seorang bekas gembong penjahat bernama Warok Timbul Ireng. Ratusan anak buahnya bertebaran di mana mana. Jika kita bayar cukup tinggi dia bisa mengerahkan orang untuk mencari tahu perempuan berpayung tujuh itu…”
Tiga Bayangan Setan tepuk bahu saudara Elang Setan seraya berkata. “Tidak percuma aku punya saudara sepertimu! Otakmu ternyata encer juga! Ha…ha….! Kita akan mengadakan perjalanan jauh. Kita harus mencari kuda tunggangan!”
Kedua orang bermuka seram itu segera tinggalkan lereng bukit, berlari cepat menuju ke arah timur.
*
* *
ORANG mengenakan blangkon kuning itu mendera kudanya bertubi tubi agar tunggangannya berlari lebih kencang. Saat itu tempat tengah hari dan sang surya bersinar sangat terik. Disatu persimpangan dia membelok ke kiri memasuki jalan menuju Wates. Dia merasa lega ketika akhirnya sampai di tempat tujuannya, yaitu sebuah rumah minum yang merangkap tempat perjudian gelap. Kabarnya banyak orang orang penting dari Kotaraja yang datang ke tempat ini untuk berjudi. Setelah menambatkan kudanya lelaki berblangkon kuning ini cepat masuk ke dalam rumah minum, langsung menuju ke belakang, terus menaiki tangga ke tingkat atas di mana terletak dua buah ruangan besar perjudian.
Bau minuman keras bercampur asap rokok menyambut hidung orang ini begitu dia menyelinap masuk ke dalam ruangan judi di sebelah kiri. Seorang lelaki berbadan tinggi besar, berewokan serta membekal sebilah golok cepat mendatanginya dan mendorong dadanya. Dia adalah salah satu dari empat orang yang bertugas sebagai penjaga di rumah judi itu.
“Blangkon kuning, aku tak pernah melihat kowe sebelumnya. Dari tampangmu aku tahu kowe kemari bukan untuk berjudi! Apa mau kowe datang ke sini….?!”
“Aku mencari seseorang….”
“Ini bukan tempat mencari orang. Tapi tempat judi. Lekas minggat dari sini atau kupuntir rupanya tidak mau tinggalkan tempat itu. Dia segera bertindak masuk kembali.
“Manusia sompret! Memang kau minta digebuk!” Pengawal rumah judi itu lalu hantamkan tinju kanannya ke muka si blangkon kuning. Sesaat lagi tinju itu akan meremukkan rahangnya tiba tiba satu tangan berbulu menahan tinjunya. Pengawal ini hendak berteriak marah. Tapi begitu dia berpaling dan melihat siapa adanya orang yang menahan tinjunya cepat cepat melangkah mundur lalu membungkuk.
“Dia memang mencariku, kau boleh pergi…”
Pengawal tinggi besar itu menyeringai, membungkuk sekali lagi ketika orang yang barusan bicara menyelipkan sekeping uang ke dalam genggamannya. Orang yang memberikan uang ini kepalanya sulah alias botak di sebelah kiri sedang bagian kanan ditumbuhi rambut sangat lebat dan awut awutan. Tampangnya tampak angker karena selain ditutupi kumis dan brewok lebat, mata kanannya mendelik besar sedang mata kiri senantiasa seperti terpejam. Di keningnya ada tiga buah guratan aneh. Orang ini bukan lain adalah Tiga Bayangan Setan.
“Kau membawa kabar bagus…?” tanya Tiga Bayangan Setan sambil memegang bahu si blangkon kuning. Orang yang ditanya mengangguk. “Kau berhasil mengetahui dimana perempuan itu berada….?” Yang ditanya kembali mengangguk. Tiga Bayangan Setan berpaling lalu mengangkat tangannya pada Elang Setan yang sedang asyik berjudi.
Melihat tanda yang diberikan Tiga Bayangan Setan, Elang Setan segera teguk habis minuman keras dalam kendi kecil lalu tinggalkan meja judi. Ketiga orang itu turun ke bawah. Di satu tempat si blangkon kuning berikan keterangan.
“Perempuan itu ada di pesisir selatan. Di sekitar muara Kali Opak… Beberapa kali dia terlihat di pantai. Sepertinya dia tengah mencari atau menunggu kedatangan seseorang…”
“Berpakaian merah….?” Tanya Elang Setan.
Si Blangkon Kuning mengangguk.
“Membawa tujuh payung?” ujar Elang Setan.
“Saya melihat dia membawa bungkusan besar pada punggungnya. Ada gagang gagang menyembul. Bukan gagang senjata. Mungkin sekali memang gagang payung….”
“Bagus! Ini bagian yang kujanjikan!” kata Tiga Bayangan Setan seraya mengeruk saku jubah hitamnya. Ketika si Blangkon kuning hendak menerima, Tiga Bayangan Setan tidak segera melepaskan uang dalam genggamannya tapi mencekal tangan orang.”
Kalau kau memberi keterangan dusta, ingat baik baik!Kami berdua akan datang mencarimu. Kau akan mampus dengan kepala terbelah! Mengerti?!”
Orang itu mengangguk. Begitu tangannya dilepaskan dia cepat cepat tinggalkan tempat itu. Tiga Bayangan Setan berpaling pada Elang Setan. “Baiknya kita berangkat sekarang juga!” katanya.
*
* *

TUJUH

MENJELANG matahari terbenam, di balik sebuah bukit terkembang melayang di udara. Pada gagang payung berwarna merah kelihatan bergantung seorang gadis berpakaian merah. Dia bukan lain adalah Puti Andini, gadis dari tanah seberang yang telah menolong Wiro dari bahaya maut akibat pukulan makhluk raksasa jejadian yang keluar kepala Tiga Bayangan Setan.
Begitu mendarat di lereng bukit gadis itu tancapkan payung merahnya di tanah sementara payung payung lain melayang turun lalu menancap sendiri sendiri di tanah bukit itu. Wajahnya tampak napas panjang seolah ada yang disesalinya.
Sejak beberapa waktu lalu sebenarnya dia telah menguntit Pendekar 212 Wiro Sableng terus menerus secara diam diam. Sesuai tugas yang diberikan guru gurunya dia harus mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Menurut sang guru hanya Wiro yang akan mengetahui dimana beradanya kitab sakti itu. Begitu kitab berada di tangan Wito dia harus merampasnya, bahkan sesuai perintah sang guru dia harus membunuh pemuda itu jika Wiro tidak mau menyerahkan Kitab Putih Wasiat Dewa. Ketika Wiro mendapat celaka dihantam Tiga Bayangan Setan di bukit di luar Kartosuro itu sebabnya dia tolong menyelamatkan sang pendekar agar kelak Wiro bisa membawanya ke tempat dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu. Namun pertemuan dengan Wiro Sableng telah membawa kesan mendalam pada diri si gadis ini. Dia memang harus mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu, tapi apakah dia harus membunuh Wiro? Hati kecilnya secara jujur mengatakan bahwa dia tidak akan memiliki rasa tega untuk melaksanakan hal itu.
Penguntitan yang dilakukan Puti Andini membawanya ke muara Kali Opak.
Namun dia tidak segera dapat mengikuti Wiro ketika pemuda ini memasuki perahu putih bersama nelayan aneh bercaping dan mengenakan cadar penutup wajah. Dia mengalami kesulitan mendapatkan perahu. Untuk terbang di laut terbuka seperti itu tidak bisa dilakukannya karena pasti Wiro akan melihatnya. Dia menunggu sampai perahu putih tumpangan Wiro berada agak jauh di tengah laut. Ketika akhirnya dia meninggalkan pantai bersama payung payungnya di tengah laut hanya ditemuinya pecahan papan perahu putih, terombang ambing kian kemari dipermainkan ombak.
Wiro dan juga pemilik perahu putih itu tidak kelihatan sama sekali.
“Apa yang terjadi dengan dirinya?” membatin Puti Andini. “Perahunya
tenggelam? Tapi tak ada badai di laut. Atau hancur dihantam ikan buas….? Mungkin ditelan pusaran ombak seperti yang pernah dijelaskan seorang nelayan itu?” Puti Andini menarik napas panjang. “Aku harus berkemah di sini. Aku akan menunggunya sampai dia muncul lagi. Aku tidak yakin dia telah menemui ajal. Pendekar cerdik seperti dia punya seribu satu akal untuk menyelamatkan diri….”
Lebih dari seminggu menunggu Wiro tak kunjung muncul. Puti Andini kini benar benar gelisah. “Kalau aku sampai kehilangan jejaknya berarti aku tak bakal mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa itu untuk selama lamanya…..Lebih baik aku bersiap menyelidik. Aku harus mencari perahu sewaan. Kalau tak ada yang mau menyewakan terpaksa aku mencuri. Di tengah laut aku bisa menyelidik lebih seksama dengan menggunakan payung terbang….”
Berpikir sampai disitu si gadis segera melipat tujuh payungnya. Ketika dia hendak memasukkan payung payung itu ke dalam kantong perbekalan besar tiba tiba dia mendengar suara derap kaki kuda mendatangi.
“Ada dua penunggang kuda…” kata Puti Andini dalam hati yang bertelinga tajam dan segera tahu berapa orang yang mendatanginya. Dia tak menunggu lama. Dua penunggang kuda itu segera muncul dari balik lereng bukit di depannya. Kejut si gadis bukan alang kepalang. Dia memang belum pernah bertemu muka dengan kedua orang itu. Tapi dari tampang dan dandanan keduanya dia segera tahu tengah berhadapan dengan siapa. Puti Andini bersikap tenang namun penuh waspada.
“Amboi! Dara cantik yang kita cari rupanya tengah bersiap pergi. Sobatku, untung kita tidak terlambat!” kata penunggang kuda di sebelah kanan. Dia bukan lain adalah Tiga Bayangan Setan tang begitu selesai bicara terus malompat turun dari punggung kudanya. Saudara angkatnya yaitu Elang Setan menyusul turun dari kuda.
Begitu menjejak tanah Elang Setan cepat mendekati Tiga Bayangan Setan dan berbisik.
“Aku tidak menyangka orang yang kita cari ini ternyata seorang gadis cantik rupawan! Dengar Tiga Bayangan Setan kalau urusan dengan dia selesai aku tidak akan melepaskannya begitu saja. Dia perlu menghibur diriku barang dua tiga hari!”
“Pikiran kotormu sama dengan otak iblisku!” jawab Tiga Bayangan Setan dengan berbisik pula. “Malah aku ada rencana. Kalau kita tidak dapatkan kepala Pendekar 212, gadis ini kita bawa dan serahkan pada Pangeran Matahari. Dia pasti senang dan syukur syukur mau menganggap gadis ini sebagai pengganti kepala Pendekar 212!”
“Rencana bagus…!” kata Elang Setan lalu mendahului melangkah mendekati Puti Andini.
“Kalian siapa dan ada keperluan apa?” menegur Puti Andini dengan sikap tenang walau hatinya berdebar. Sebagai gadis persilatan yang belum lama dilepas turun gunung oleh gurunya tampang tampang angker dua manusia di depannya mau tak mau membuat hatinya berdebar juga. Apalagi dia sudah tahu sebelumnya tentang tindak tanduk dan segala keganasan mereka.
“Dengan senang hati kami memperkenalkan diri,” kata Elang Setan pula. “ Aku yang buruk rupa tapi berhati emas ini biasa disebut dengan panggilan Elang Setan!”
Habis berkata begitu Elang Setan membungkuk seraya melambaikan tangan kanannya dari kiri ke kanan. Sinar hitam kemerahan membersit keluar dari kuku kuku jarinya yang panjang panjang. Lalu dia menuding dengan ibu jarinya ke arah Tiga Bayangan Setan.
Tiga Bayangan Setan tertawa lebar. Setelah kedip kedipkan mata kanannya yang besar dia pun membungkuk sambil berkata. “Aku yang jelek ini dikenal dengan julukan Tiga Bayangan Setan! Kami berdua adalah saudara angkat. Kalau kami boleh bersombong diri seantero daratan sekitar sini dari utara sampai selatan adalah dibawah kekuasaan dan pengawasan kami. Itu sebabnya begitu tahu ada seorang dara cantik berkepandaian tinggi berada di tempat ini, sebagai tuan rumah yang baik kami layak menyambut mengucapkan selamat datang….”
“Hemmmm… pasti mereka melihat aku waktu turun di bukit di luar Kartosuro tempo hari. Kalau dulu mereka sengaja melarikan diri dan kini sengaja mendatangi berarti mereka mengandung maksud tertentu…” kata Puti Andini dalam hati.
“Terima kasih atas budi baik kalian yang mau mencariku. Terima kasih untuk ucapan selamat datang…” kata si gadis seraya tersenyum manis yang membuat Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan jadi blingsatan mabuk kepayang.
“Kami lihat kau tengah bersiap untuk pergi. Kami harap tak usah terburu buru.
Kami ingin menanyakan sesuatu padamu. Jika urusan bisa selesai dengan cepat kami akan mengundangmu ke puncak Gunung Merapi,” ujar Elang Setan pula dan dia maju lagi dua langkah hingga jaraknya dengan Puti Andini hanya terpisah lima langkah kini.
“Ah, kalian benar benar tuan rumah yang baik. Pertanyaan apa yang hendak kalian ajukan?” bertanya Puti Andini seraya menyusun tujuh buah payung yang ada dalam kantong perbekalan sebelum dipikulnya di punggung.
“Beberapa waktu lalu terjadi satu peristiwa besar di satu lereng bukit di luar Kartosuro. Pendekar kawakan dikenal dengan julukan Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng menemui kematian di tempat itu…”
Puti Andini menunjukkan wajah pura pura terkejut. “Pasti matinya bukan karena sakit. Seseorang telah membunuhnya!”
Elang Setan anggukan kepala.
“Jika seseorang sehebat Pendekar 212 dibunuh orang, pasti yang membunuhnya seorang berkepandaian sangat tinggi. Kalian tahu siapa yang membunuh tokoh silat muda itu?”
“Itulah yang kami ingin tahu!” jawab Elang Setan.
“Selain itu,” menyambung Tiga Bayangan Setan, “Kami mendapat tugas dari seorang yang sangant dekat dengan Pendekar 212 untuk mencari jenazahnya guna diurus lalu disemayamkan sebaik baiknya.”
Puti Andini angguk anggukkan kepalanya beberapa kali lalu bertanya.”Lantas hal apa yang kalian harapkan dariku?”
“Kalau kami tidak salah, pada waktu kejadian itu kau terlihat berada di sekitar bukit. Mungkin bisa memberi keterangan apa yang terjadi dengan mayat Pendekar 212…”
“Hemm… Aku memang turun ke bukit itu. Memang kulihat banyak mayat bertebaran di sekitar sumur batu. Kebanyakan sudah pada busuk. Namun aku tidak melihat mayat Pendekar 212 atau yang punya ciri ciri seperti dia. Mungkin…Hemmm…” Puti Andini pura pura berpikir pikir.
“Mungkin apa?” tanya Tiga Bayangan Setan.
“Waktu masih melayang di udara, aku melihat ada dua orang terburu buru meninggalkan lereng bukit. Salah satu diantara mereka memanggul sesosok tubuh.
Mungkin sekali dua orang itu yang membawa mayat Pendekar 212. Sayang aku tidak menyelidik lebih jauh…”
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan jadi saling pandang mendengar kata kata Puti Andini itu. Tentu saja mereka tidak mau menceritakan bahwa dua orang yang terlihat lari itu adalah mereka sendiri yang tengah membawa sosok Bidadari Angin Timur.
“Baiklah, kalau kau memang tidak tahu apa apa menyangkut mayat Pendekar 212,” kata Tiga Bayangan Setan pula. “Sekarang bagaimana dengan undangan kami untuk membawamu ke puncak Gunung Merapi?”
“Gunung Merapi cukup jauh dari sini. Memangnya ada pesta apa di sana hingga mengundang segala?”
Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan tertawa gelak gelak. “Sama sekali tidak ada pesta atau hajat apa pun di sana!” jawab Elang Setan. “Kami membawamu ke sana karena ingin memperkenalkan dirimu dengan seorang tokoh luar biasa dunia persilatan!” Sambil bicara Elang Setan maju dua langkah.
“Hemmm… siapakah gerangan tokoh luar biasa yang kau maksudkan itu?” tanya Puti Andini.
“Pernah mendengar nama Pangeran Matahari?” ujar Tiga Bayangan Setan.
“Pangeran Matahari!” seru Puti Andini. “Siapa tidak kenal dengan raja diraja dunia persilatan itu! Namanya tembus sampai ke pulau kediamanku di tanah seberang!”
“Nah kepadanyalah kami akan mempertemukan dirimu….”
“Sungguh menyenangkan dapat bertemu denga tokoh seperti Pangeran Matahari. Tapi apakah rencana itu tidak bisa ditunda dulu? Untuk bertemu dengan orang sehebat dia aku yang tolol ini tentu perlu persiapan agar tidak kikuk jika berhadapan!”
Tiga Bayangan Setan mengulum senyum. “Pangeran Matahari orangnya sangat baik. Dia tidak pernah memandang rendah siapa pun. Sekali kau bertemu dia pasti akan tertarik. Dia mudah bersahabat dengan siapa saja. Disamping itu wajahnya sangat gagah. Dia gagah kau cantik. Sungguh cocok!”
Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan tertawa gelak gelak. Puti Andini tersipu sipu lalu berkata, “Harap dimaafkan, saat ini aku punya tugas yang harus dijalankan.
Bagaimana kalau kita bertemu lagi di sini selang tiga puluh hari di muka. Aku pasti akan mengikuti kalian. Jangankan ke puncak Gunung Merapi, ke Puncak Mahameru pun aku mau pergi. Apalagi bersama orang orang gagah seperti kalian berdua….”
“Ah, sayang sekali….” Kata Tiga Bayangan Setan.
“Ya… sayang sekali kalau kami terpaksa memaksa!” ujar Elang Setan pula seraya maju lagi dua langkah. Pada jarak hanya tinggal satu langkah dari hadapan Puti Andini orang ini melompat sambil susupkan satu totokan ke dada si gadis!
*
* *

DELAPAN

Puti Andini yang sejak tadi tadi memang telah berwaspada begitu melihat gerakan orang cepat segera berkelit ke samping sambil angkat kantong perbekalannya dan meletakkannya di punggung. Melihat gerakan si gadis mau tak mau Tiga Bayangan Setan jadi terkesiap. Mengelakkan serangan saudara angkatnya saja merupakan satu hal yang tidak mudah. Tapi si gadis melakukannya sambil mengangkat barang yang kelihatannya cukup berat. Dan dia jadi lebih terkejut sewaktu Puti Andini membuat gerakan berputar dan tahu tahu kaki kanannya menyambar ke muka Elang Setan. Kalau lelaki ini tidak lekas mengelak pasti rahangnya sudah dimakan tendangan Putiu Andini!
Tiga Bayangan Setan cepat melompat pegangi pundak saudara angkatnya yang saat itu hendak kembali menyerang. Bukan hanya sekedar menotok tapi akan pergunakan jari jari tangannya yang berkuku panjang.
“Sabar sedikit Elang Setan. Sobat cantik ini masih bisa kita atur…” Lalu sambil berdehem dan cengar cengir Tiga Bayangan Setan berkata. “Harap maafkan saudaraku yang memang punya sifat tidak sabaran dan lekas naik pitam….”
Puti Andini tertawa. “Aku sudah tahu sandiwara kalian. Mengapa musti berpura pura…?!”
“Gadis cantik, kami tidak berpura pura. Kami memang ingin mempertemukanmu dengan Pangeran Matahari untuk maksud baik! Kalau kalian berjodoh dengan dia, kami tentu dapat pahala juga. Ha…ha….ha…!”
“Kalian tidak lebih daripada iblis bermuka setan! Pangeranmu itu tidak lebih baik dari kalian! Dengar…. Aku melihat warna aneh pada bibir kalian! Di dalam tubuh kalian pasti ada sejenis racun jahat yang perlahan lahan tetapi pasti akan membunuh kalian berdua. Mungkin ada hubungannya dengan maksud kalian mencari mayat Pendekar 212 dan mengajakku ke puncak Gunung Merapi?!”
Dua orang di hadapan Puti Andini sama sama terkesiap mendengar ucapan si gadis. Keduanya tak habis pikir bagaimana gadis itu bisa mengetahui keadaan diri dan maksud mereka.
“Selagi hari masih siang sebaiknya kalian lekas angkat kaki dari hadapanku!”
“Ah, gadis cantik ini rupanya tak bisa diatur!” kata Tiga Bayangan Setan.
“Kalau begitu biar kita gebuk dan pegangi di tempat ini juga!” ujar Elang Setan sambil menyeringai lebar.
“Kau betul, tapi jangan terlalu keras memberi pelajaran padanya. Bagaimana kalau kau pergunakan kuku kuku jarimu untuk merobek pakaian dan menelanjangi tubuhnya terlebih dulu! Aku ingin menyaksikan satu pemandangan bagus agar mataku tidak keburu lamur! Ha…ha…ha…!”
Puti Andini sudah lama mendengar riwayat dua manusia jahat ini. Karenanya selain berhati hati dia tak mau memberi kesempatan. Sebelum Elang Setan menyerbu gadis ini berkelebat hantamkan tangan kanannya ke arah dada lawan. Selarik angin dingin menyambar. Elang Setan terkejut besar sewaktu tubuhnya menjadi huyung.
Cepat dia dorongkan tangan kanannya ke depan. Lima larik sinar hitam kemerahan bertabur dari kuku kukujarinya membuat angin serangan Puti Andini bersibak ke samping. Selagi gadis ini memasang kuda kuda menyiapkan serangan baru, Elang Setan mendahului.
Puti Andini melihat sepuluh sinar hitam kemerahan berkiblat di depan matanya. Si Gadis tak berani menangkis ataupun membalas. Kedua kakinya dijejakkan ke tanah.
Seperti anak panah tubuhnya melesat ke udara. Elang Setan yang tak mau melepaskan lawan begitu saja cepat memburu. Kembali sepuluh sinar hitam merah melesat ke arah Puti Andini.
Sambil melompat tadi Puti Andini gerakkan tangan kanannya ke punggung mencabut satu dari tujuh payung yang ada dalam buntalan perbekalannya. Lalu terdengar suara “blepp!”
Elang Setan dan Tiga Bayangan Setan terkejut ketika melihat di udara, di depan tubuh gadis berbaju merah itu berputar sebuah benda bulat berwarna hijau. Ternyata Puti Andini telah mengambil payung hijau dan sekaligus mengembangkannya. Begitu payung terkembang jari jaritangannya disentakkan. Payung hijau berputar deras mengeluarkan deru dahsyat.
Elang Setan berseru kaget ketika melihat bagaimana putaran payung hijau menggulung serangan sepuluh kukunya dan ketika si gadis mendorongkan payungnya ke depan sepuluh cahaya hitam yang keluar dari kukunya itu membalik menghantam arahnya!
Sambil berteriak keras Elang Setan jatuhkan diri ke tanah, berguling selamatkan diri. Begitu dia berguling di bawah sosok Puti Andini secepat kilat dia melompat seraya lepaskan satu pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi.
Pada saat Elang Setan jatuhkan diri Puti Andini lepaskan payung hijaunya.
Payung itu kini melayang berputar putar du udara. Payung itu kini melayang berputar putar di udara. Ketika lawan lewat di bawahnya si gadis cabut payung kedua yakni payung putih. Begitu Elang Setan menyerang, payung putih menukik laksana kilat.
Payung mengembang dengan bagian runcing menusuk ke arah bahu Elang Setan. Dalam keadaan marah karena kedua kalinya serangannya gagal Elang Setan menjadi nekad. Dia kerahkan tenaga dalam lebih banyak lalu menggebuk ke arah payung putih. Jotosannya yang laksana palu godam masakan tidak sanggup menjebol payung putih yang hanya terbuat dari kertas pikirnya. Tapi alangkah kagetnya Elang Setan ketika satu gelombang angin yang keluar dari putaran payung putih membuat tangan kanannya seperti dipuntir. Sebelum dia sempat melakukan sesuatu, pinggiran payung putih yang berputar laksana gerinda raksasa itu menyambar ke arah pergelangan tangannya.
“Craaasss!”
“Breett!”
Elang Setan berteriak kesakitan. Lengan pakaiannya yanga terbuat dari kain tebal robek besar. Pada ujung robekan kelihatan cairan merah tanda daging lengannya ikut tersambar. Sakitnya bukan main. Dengan muka sepucat mayat Elang Setan melompat mundur. Melihat lawan terluka Puti Andini tidak mau memberi kesempatan. Gadis ini putar payung putihnya dengan sebat. Bagian runcing di pertengahan payung laksana ujung tombak yang berputar menusuk ke arah kening Elang Setan. Yang diserang cepat menghindar. Tapi dia kecele. Serangan berupa tusukan itu ternyata hanya tipuan belaka karena begitu Puti Andini menyentakkan gagang payung, laksana kilat pinggiran payung putih menderu ke arah bahu tepat di pangkal leher Elang Setan!
“Celaka!” jerit Elang Setan. Seumur hidup manusia satu ini membunuh lawan lawannya yang berkepandaian tinggi dengan cepat dan mudah. Tapi hari ini dia berhadapan dengan seorang gadis cantik jelita, bersenjatakan payung dan dia tak mampu menghadapinya! Dalam keadaan seperti itu tiba tiba datang lagi serangan Puti Andini. Si gadis pergunakan payung hijaunya seolah tali gantungan. Tubuhnya diayun ke bawah. Kakinya menyambar. “Bukkk!”
Elang Setan terhempas ke tanah. Darah menyembur dari mulutnya akibat tendangan telak yang mendarat di dadanya.
“Saatnya aku menghabisi manusia setan satu ini!” ujar Puti Andini. Dengan kertakan rahang si gadis sentakkan tangannya yang memegang payung hijau. Tubuhnya berputar membal. Lalu dia membuat gerakan menukik. Ujung payung hijau dihujamkan ke batok kepala Elang Setan.
“Tiga Bayangan! Tolong!” teriak Elang Setan karena saat diserang dia tak mampu berbuat apa apa!
Tiga Bayangan Setan yang memang sejak tadi memperhatikan jalannya mperkelahian dan tahu saudara angkatnya berada dalam bahaya besar secepat kilat melompat. Dua tangannya diulurkan untuk mencekal sepasang kaki Puti Andini yang masih mengapung di udara. Serangan Tiga Bayangan Setan bukan serangan biasa. Sekali dia sempat mencekal salah satu kaki si gadis, dia mampu menanggalkan kaki itu dari persendiannya! Puti Andini bukan tidak maklum bahayanya serangan lawan kedua itu. Dia terpaksa mencari selamat lebih dahulu. Serangan maut yang ditujukan pada Elang Setan hanya merobek leher baju tebal lawan dan menggurat sedikit daging bahunya.
Masih berada di udara Puti Andini lipat ke dua kakinya lalu mencekal gagang payung hijau. Bersamaan dengan itu payung putih dihantamkan ke arah kepala Tiga Bayangan Setan. Lawan yang diserang keluarkan suara mendengus lalu menyusup ke balik putaran payung putih.
Puti Andini tersentak kaget ketika melihat tahu tahu Tiga Bayangan Setan berada di balik putaran payung putihnya dan menggempurnya dengan dua jotosan sekaligus!
Puti Andini tersentak tangan kanannya.
“Cleeppp!”
Payung putih menguncup kencang. Karena kepala Tiga Bayangan Setan berada di belakang payung tak ampun lagi kepalanya amblas dalam kuncupan payung. Seperti diketahui manusia ini memiliki kesaktian kebal segala macam pukulan sakti dan senjata tajam. Tapi saat itu dia sama sekali tidak menerima pukulan ataupun tusukan senjata.
Yang mendapat serangan adalah jalan pernapasannya karena kepalanya tersangkup payung. Dalam waktu singkat kakinya melejang lejang kian kemari. Tangannya menggapai gapai coba memukul. Namun saat itu Puti Andini telah melepaskan pegangannya pada payung hingga sosok Tiga Bayangan Setan melayang berputar putar di udara.
“Jahanam! Kurang ajar! “ teriak Tiga Bayangan Setan terpengap pengap. Saat itu dia telah merapal aji kesaktian ilmu paling diandalkannya yakni mengeluarkan tiga raksasa jejadian dari batok kepalanya. Bersamaan dengan itu dia adukan tinjunya kiri kanan satu sama lain seraya berteriak. “Hancurkan payung!”
Tiga guratan di kening Tiga Bayangan Setan mengeluarkan sinar berkilauan.
Bersamaan dengan itu dari kepalanya keluar kepulan asap!
Sebelumnya Puti Andini tidak pernah berhadapan dengan Tiga Bayangan Setan.
Namun dia banyak tahu mengenai ilmu iblis yang dimiliki manusia ini berdasarkan keterangan guru dan beberapa tokoh silat di pulau Andalas. Dia sendiri tidak dapat memastikan apakah payung yang menjadi senjata andalannya mampu menghadapi kesaktian lawan. Karenanya begitu melihat ada kepulan asap keluar dari bawah payung serta merta dia gerakkan tangan menarik gagang payung. Bersamaan dengan itu payung hijau tempatnya bergantung digerakkan demikian rupa. “Clepp!” begitu payung hijau menguncup si gadis tusukkan benda itu ke arah perut lawan. Sementara tangan kirinya bergerak mengembangkan payung putih! Semua dilakukan dengan gerakan secepat kilat.
Ketika tiga kepulan asap di kepala Tiga Bayangan Setan mulai membentuk sosok tiga raksasa bermuka seram, rambut riap riapan, taring mencuat sedang dada yang telanjang penuh bulu, Puti Andini lipat gandakan tenaga dalam di tangan kanan dalam menusukkan payung.
“Wuttt!”
“Bukkk!”
“Kraaak!”
Ujung runcing payung hijau mendarat di ulu hati Tiga Bayangan Setan dengan telak. Jubah hitamnya robek besar. Tubuhnya terbanting ke tanah. Tapi tusukan payung itu tak mampu menembus perutnya. Sebaliknya ujung runcing payung hijau patah, membuat Puti Andini terbeliak kaget!
“Setan alas ini benar benar memiliki ilmu kebal luar biasa! Terpaksa aku menghindari perkelahian lebih jauh. Aku harus cepat cepat memperbaiki ujung payung yang patah. Urusan besar menghadang di depanku!” Puti Andini cepat tarik tangan kanannya yang memegang payung hijau. Lalu tangan kirinya disentakkan. Payung hijau berputar deras. Tubuhnya melesat ke atas.
Di bawah sana Tiga Bayangan Setan berteriak marah. “Kejar! Bunuh!”
Tiga sosok raksasa jejadian melesat ke atas. Tiga pasang tangan mereka menghantam. Namun Puti Andini yang bergantungan pada payung putih sudah terlalu tinggi untuk dikejar. Apalagi saat itu dia telah sempat membuka tiga payung lagi untuk melindungi dirinya. Ilmu kesaktian tiga raksasa angker yang keluar dari batok kepala Tiga Bayangan Setan walaupun hebat luar biasa tapi mempunyai keterbatasan untuk menjangkau sasaran yang terlalu jauh.
Tiga Bayangan Setan usap usap perutnya yang tadi kena tusukan ujung payung hijau. Memandang ke udara dia menggeram dan memaki pajang pendek. Saat itu dilihatnya Puti Andini tengah mengembangkan payung merah lalu berpindah ke payung itu melayang makin jauh.
“Kita gagal besar!” kata Elang Setan yang tegak di samping saudara angkatnya itu sambil mengepalkan tinju. “Kita tak dapat mencari tahu apa yang terjadi atas mayat Pendekar 212. Kita juga tak berhasil mendapatkan gadis itu! Apa akal sekarang?!”
Tiga Bayangan Setan usap bagian kepalanya yang sulah. Mata kanannya yang besar dipejamkan. Dari lereng bukit itu dia memandang ke tengah lautan. “Hanya ada satu cara untuk cari selamat. Kau ingat Ki Ageng Unggulmulyo bekas juru rias Istana yang ahli membuat topeng di Bantul itu…?”
Elang Setan tidak mengerti. “Apa hubungan orang tua itu dengan urusan kita…?” tanyanya.
“Justru erat sekali!” jawab Tiga Bayangan Setan. “Ayo kita ke sana sekarang juga!”
Ke dua orang itu segera melangkah ke tempat mereka meninggalkan kuda masing masing.
*
* *

SEMBILAN

Dalam ruangan pertemuan yang besar itu hanya terdapat dua buah kursi dari batu, terletak berhadapa hadapan mengapit sebuah meja batu pualam yang di atasnya ada jambangan bunga. Baik jambangan maupun bunganya terbuat dari sejenis kerang. Yang membuat bunga dari kerang kelihatan menyerupai bunga hidup sungguhan.
Kursi batu sebelah kanan selain lebih besar dan tinggi juga sebelah kanan selain besar dan tinggi juga memiliki ukiran bagus berupa ikan lumba lumba besar yang tegak agak melengkung. Bila seseorang duduk di atas kursi batu ini maka kepalanya seolah ditudungi oleh kepala ikan. Wiro telah melihat kursi seperti itu di ruangan besar pada pertama kali dia memasuki tempat itu. Kursi satunya yang di sebelah kiri memiliki bentuk sama dengan sebelah kanan hanya saja kecil dan lebih rendah.
Seluruh ruangan tertutup tirai tebal berwarna biru. Di langit langit ruangan sebelah tengah ada sebuah batu putih aneh yang memancarkan cahaya berkilau. Cahaya dari batu inilah yang menerangi seantero ruangan besar itu. Wiro menghirup napas dalam dalam. Ruangan itu berbau wangi semerbak. Udaranya pun sejuk nyaman.
“Silahkan mengambil tempat duduk di kursi sebelah kiri,” memberi tahu salah seorang dari empat gadis berpakaian hitam ketat yang membawa Wiro ke ruangan itu.
“Ratu akan segera datang ke tempat ini.”
Pendekar 212 anggukan kepala. Emapt gadis kemudian menyelinap ke balik tirai biru dan lenyap. Wiro memandang berkeliling lalu melangkah seputar ruangan. Setiap sudut diperiksanya. “Aneh, dari mana jalan aku masuk tadi? Di mana pula bagian tempat empat gadis tadi menyelinap pergi?” Setiap bagian tirai dibaliknya tapi dia hanya menemukan dinding batu hitam. “Jangan janganaku telah kena jebak! Dijebloskan dalam penjara yang keadaannya lebih lumayan dari Ruang Penantian terkutuk itu!
Hemmm…. Kalau benar aku dipenjarakan lagi di tempat ini aku tak segan segan mengencinginya. Kalau perlu aku akan buang hajat besar di sini! Biar tahu rasa!” Begitu murid Sinto Gendeng berkata dalam hati sambil senyum senyum sendiri. Lalu dia berusaha mengingat ingat telah berapa lama dia berada di tempat itu. Namun otaknya tak mampu menduga. “Tempat celaka ini punya hitungan hari aneh dengan dunia luar sana….” Lalu tiba tiba saja murid Sinto Gendeng menjadi kecut. “Bagaimana kalau aku tidak pernah keluar selama lamanya dari tempat ini?” Wiro garuk garukkepalanya berulang kali. Teringat dia pada tugas penting mendapatkan Kitab Putih Wasiat Dewa yang sampai saat ini masih gelap dimana beradanya. “Nelayan berpenyakit cacar sialan itu…” maki Wiro. “Hampir putus tanganku disambar ikan hiu!” Wiro perhatikan lengan kanannya yang pernah luka. Tiba tiba terbayang wajah cantik Bidadari Angin Timur di pelupuk matanya. “Gadis itu…Akutak dapat melupakannya. Waktu berdua duaan di dalam telaga…. Bidadari, dimana kau saat ini? Aku kangen sekali padamu….”
Tiba tiba tirai biru di dinding sebelah kanan tersingkap.
“Bidadari Angin Timur, kaukah itu….?” Karena tengah mengenang gadis yang dirindukannya itu, ucapan itu lepas begitu saja tanpa disadari Pendekar 212. Ketika dia berpaling ke kanan yang tegak di tempat itu memang seorang perempuan secantik bidadari. Mengenakan pakaian sangat ketat terbuat dari manik manik berwarna merah berkilauan yang pada bagian dada serta pinggulnya terbelah. Di tangan kanannya dia mendadak bertambah harum oleh bau Ratu Duyung yang baru masuk.
“Kau menyebut nama seseorang….” Ujar Ratu Duyung.
“Ah, maafkan aku…” kata Wiro garuk garuk kepala.
“Kau tengah melamuni seseorang….”
Wiro tertawa lebar. Kembali dia garuk garuk kepala.
Ratu Duyung melangkah mundar mandir di hadapan Wiro beberapa lamanya.
Sesekali dia melirik ke arah pemuda itu dan diam diam mengakui walau sepintas pemuda ini seperti orang tolol suka cengengesan tapi wajahnya ternyata tampan.
Apalagi kini kulitnya telah kembali ke bentuk asli. Wiro sendiri diam diam memperhatikan kebagusan tubuh sang Ratu dengan mata tak berkesip.
Walau mengagumi Pendekar 212, Ratu Duyung tidak menyembunyikan rasa sukanya melihat sikap seenaknya murid Sinto Gendeng. Dalam hati dia menggerendeng.
“Pemuda satu ini benar benar kurang ajar. Dia duduk di kursi batu dimana seharusnya aku duduk. Aku harus menegurnya. Mengingat dia sekarang merupakan sebagai tamu yang kuhormati, bagaimana caranya menyuruhnya berdiri dari kursi itu tanpa merasa tersinggung. Hemmm….”
Sambil terus melangkah Ratu Duyung bertanya. “Mungkin anak buahku yang mengantar kau ke sini lupa memberi tahu dimana kau harus duduk….”
“Astaga!” Wiro pura pura terkejut. “Maafkan aku! Anak buahmu memang memberi tahu. Tapi aku sedang kacau pikiran hingga lupa….”
Wiro berdiri dari kursi batu besar. Sandaran dan bagian kursi yang barusan didudukinya dibersihkannya dengan tangan. Lalu dia membungkuk mempersilahkan sang Ratu duduk. Ratu Duyung jengkel ada geli juga ada melihat kelakuan pemuda itu.
Wiro menunggu sampai sang Ratu duduk di kursi batu besar dia kemudian ddudk di kursai batu yang kecil.
“Kau mengatakan sedang kacau pikiran….” Ratu Duyung membuka pembicaraan.
“Betul sekali….” Jawab Wiro polos.
“Pikiran kacau adalah salah satu sumber kelemahan manusia yang bisa membawa kelengahan, mengundang datangnya malapetaka….”
“Aku memang telah berlaku lengah dan menghadapi malapetaka…. Aku tidak tahu apa artinya aku berada di ruangan ini. Mungkin ini salah satu bentuk lain dari penjaramu….?”
Ratu Duyung tersenyum. “Kau pernah berbuat salah, ditawan dan dihukum. Tapi sekarang kau kembali sebagai tamu yang kami hormati…..”
“Kalau begitu aku mengucapkan terima kasih. Terima kasihku banyak sekali untukmu Ratu. Kau telah menyelamatkan aku waktu tenggelam di laut. Mengobati luka sambaran ikan hiu di lenganku. Mengembalikan sepasang mataku. Entah kebaikan apa lagi yang akan kuterima darimu. Jangan terlalu banyak membagi kebaikan padaku Ratu Duyung. Aku khawatir tak dapat membalas semua budi baikmu itu…”
Ratu Duyung berpura pura mengusap hidung dan mulutnya. Padahal dia tengah berusaha menyembunyikan tawa mendengar semua ucapan Wiro tadi.
“Ratu, aku mendapat penjelasan dari anak buahmu bahwa kau hendak memberikan wasiat padaku. Jika ini benar tentu saja aku ingin tahu wasiat apa. Namun jika itu tidak betul, aku mohon bisa meninggalkan tempat ini secepatnya. Selama berada di sini banyak pelajaran baik yang telah kudapat. Aku sekali lagi mengucapkan terima kasih….”
Ratu Duyung letakkan cermin bulatnya di pangkuan lalu berkata. “Sewaktu sobatmu Dewa Ketawa berada di sini, kami sudah mengetahui kalau kau membekal satu tugas besar dan berat. Mencari sebuah kitab sakti bernama Kitab Putih Wasiat Dewa….”
Wiro mengangguk. “Bagaimana Ratu bisa mengetahui. Padahal Ratu jarang sekali meninggalkan tempat ini….”
Ratu Duyung mengambil cermin bundar di pangkuannya. “Hampir semua yang terjadi di luaran, dalam kejauhan tertentu bisa kupantau lewat cermin sakti ini. Waktu kau masih di pantai, sibuk mencari perahu tumpangan, aku dan Dewa Ketawa sudah melihat gerak gerikmu lewat cermin ini….”
Pendekar 212 Wiro Sableng jadi ternganga saking herannya mendengar keterangan itu. Matanya memandang tak berkesip pada cermin yang ada di tangan sang Ratu.
“Kalau begitu….” Wiro garuk garuk kepalanya.
“Aku tahu apa lanjutan ucapanmu Pendekar 212. Kau pasti menduga aku mengetahui dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu…..”
“Betul sekali! Dapatkah kau melihat ke dalam cermin dan memberi tahu padaku?”
“Banyak hal bisa dilihat lewat cermin ini. Tapi betapapun hebatnya sebagai benda fana cermin ini tetap memiliki keterbatasan. Cermin ini tidak mampu mengetahui dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa….”
Wiro Sableng menarik napas dalam. Wajahnya tampak kecewa.
“Jangan lekas putus asa Pendekar 212. Cerminku memang tidak bisa mengetahui langsung. Ini disebabkan karena Kitab Putih Wasiat Dewa itu bukan sembarangan.
Kekuatannya yang dahsyat membuat cermin saktiku tidak mampu melakukan sambung getar secara sempurna. Namun secara tersamar dimana kemungkinan beradanya kitab itu. Selain itu jauh sebelum kau dan kawanmu Dewa Ketawa datang kemari aku sudah mengetahui sedikit cerita tentang asal muasal kitab itu….”
Wiro ingat pada penjelasan Ratu Duyung pada hari pertama dia berada di tempat itu. “Aku ingat, pada hari pertama aku di sini Dewa Ketawa mengatakan kalau Kitab Putih Wasiat Dewa itu berasal dari daratan Tiongkok. Apa betul….?” Ratu Duyung mengangguk.
“Berarti apapun yang tertulis dalam kitab itu dalm huruf cina? Wah… Bagaimana mungkin aku bisa membacanya!” ujar Wiro seraya garuk garuk kepala.
“Pendekar 212, melihat kitab itu saja kau belum. Tahupun beradanya dimana kau belum! Mengapa sudah memikir segala macam isinya?” ujar Ratu Duyung pula.
“Kalau tidak dipikirkan dari sekarang, seandainya aku nanti dapatkan kitab itu percuma saja. Atau kau mungkin bisa membaca menjadi juru bahasaku?” Ratu Duyung tersenyum.
“Hemmm…senyum itu membuat wajahnya tambah cantik. Tapi menurutku Bidadari Angin Timur jauh lebih cantik….”
“Pendekar 212, agar jelas bagimu biar aku ceritakan asal usul yang kuketahui mengenai buku itu,” kata Ratu Duyung. Lalu sang Ratu menuturkan.
Sekitar satu abad yang silam seorang sakti di tanah Jawa diundang oleh Raja Tiongkok untuk berkunjung ke daratan Cina. Selain menjalin persahabatan juga direncanakan untuk saling tukar ilmu kepandaian. Orang sakti itu konon dipanggil dengan sebutan Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Entah apa sebabnya Sri Ageng Musalamat dan rombongan tak pernah ke tanah Jawa. Kabarnya dia bermukim di Tiongkok, kawin dengan penduduk setempat dan menjadi salah seorang tokoh silat sangat disegani.
Karena ilmunya yang tinggi maka Kaisar sering meminta bantuan Sri Ageng Musalamat termasuk para anak buah perguruannya, terutama dalam menumpas gerombolan penjahat yang bertebaran hampir di setiap pelosok pada masa itu.
Hubungannya yang dekat dengan Kaisar membuat banyak pejabat tinggi merasa iri dengki terhadap Sri Ageng Musalamat. Maka disusunlah satu rencana busuk. Dengan menggunakan surat surat palsu Sri Ageng Musalamat difitnah berkomplot membantu kaum pemberontak bangsa Mongol untuk menumbangkan Kaisar Tiongkok yang berkuasa. Kaisar marah besar. Sri Ageng Musalamat ditangkap dan dijatuhi hukuman pancung. Anak buah dan murid muridnya ditumpas habis.
“Namun ada seorang yang selamat,” kata Ratu Duyung melanjutkan penuturannya. “Orang ini bernama Ki Hok Kui. Pada waktu itu meski baru berusia sekitar tiga puluh tapi boleh dikatakan dia sudah mewarisi hampir seluruh kepandaian Kanjeng Sri Ageng Musalamat. Rimba persilatan Tiongkok memberinya gelar hebat yaitu Tiat Thow Houw yang berarti Harimau Kepala Besi. Pada waktu Sri Ageng Musalamat dan para murid serta anak buahnya yang ratusan jumlahnya dibantai, Ki Kok Kui sedang mengadakan perjalanan di daratan timur Tiongkok. Ketika orang orang yang dengki itu mengetahui Ki Kok Kui masih hidup, mereka merasa sangat khawatir kalau kalau satu satunya anak murid Sri Ageng Musalamat ini akan melakukan balas dendam. Selain itu orang orang tersebut juga kasak kusuk mencari sebuah kitab sakti milik Sri Ageng Musalamat yang tidak berhasil ditemukan. Kitab itu adalah Kitab Putih Wasiat Dewa, sebuah kitab berisi ilmu langka hampir tanpa tandingan. Orang orang itu sama memastikan bahwa kitab itu berada di tangan Ki Hok Kui. Maka satu rombongan besar dikirim ke timur untuk mencarinya. Ki Hok Kui alias Harimau Kepala Besi dihadang di dekat Nanchang. Namun berkat pertolongan seorang sahabat dia berhasil meloloskan diri lewat anak sungai Yang Tse Kiang dan menghilang di pantai timur Tiongkok sekitar Seochow….”
“Berarti kitab ilmu sakti masih berada di daratan Tiongkok,” ujar Wiro sambil manatap tajam pada Ratu Duyung.
Sang Ratu menggeleng.
“Seperti aku ceritakan tadi Harimau Kepala Besi Ki Hok Kui adalah murid kesayangan Sri Ageng Musalamat, merupakan murid paling pandai dan mewarisi hampir semua ilmunya. Disamping itu dari sang guru di juga belajar bahasa Jawa kuno. Karena itu dia mampu membaca isi Kitab Putih Wasiat Dewa….”
“Jadi, kitab sakti itu ditulis dalam bahasa Jawa kuno?” tanya Wiro ingin menegaskan.
“Betul sekali,” jawab Ratu Duyung.
“Lalu apa betul kitab itu ada di tangan si Harimau Kepala besi?” tanya Wiro lagi.
“Rupanya Kanjeng Sri Ageng Musalamat seolah punya firasat bahwa satu malapetaka besar akan terjadi atas dirinya, keluarga serta anak buah dan anak murid perguruannya. Maka tanpa ada orang lain yang tahu Kitab Putih Wasiat Dewa diserahkannya pada Tiat Thow Houw alias Harimau Kepala Besi….”
“Berarti orang ini sudah membaca isinya dan mempelajarinya!” ujar Wiro.
“Hal itu tidak bisa dipastikan. Yang jelas selama dia memegang kitab sakti itu dia selalu diburu oleh orang orang Kaisar yang jahat….” jawab Ratu Duyung, lalu meneruskan . “Suatu hari sahabat yang pernah menolong Ki Hok Kui melarikan diri tertangkap. Setelah disiksa akhirnya dia memberi tahu dimana bersembunyinya murid Sri Ageng Musalamat itu. Si sahabat kemudian dibunuh secara keji. Tempat persembunyian Ki Hok Kui digerebek. Terjadi pertempuran hebat. Kabarnya sebelum berhasil meloloskan diri Harimau Kepala Besi berhasil membunuh perwira tinggi pemimpin pasukan pengejar itu. Ikut tewas dua orang tokoh silat serta beberapa orang prajurit. Orang orang Kaisar marah besar. Bala bantuan didatangkan. Sementara Ki Hok Kui melarikan diri menuju muara sungai. Dari sini dengan sebuah jukung dia mengarungi lautan luas. Tujuannya hanya satu menuju tanah Jawa. Sulit dipercaya hanya dengan sebuah perahu kecil Ki Hok Kui mampu mengarungi samudera luas dengan membawa satu benda sangat berharga. Rupanya orang orang Kaisar berhati culas masih belum puas. Mereka terus menyelidik. Beberapa hari kemudian mereka berhasil mengetahui bahwa Ki Hok Kui telah kabur dengan sebuah jukung. Satu kapal kayu besar disiapkan untuk mengejar. Karena dia bukan seorang pelaut maka Ki Hok Kui tidak pernah mencapai pantai utara pulau Jawa tempat kelahiran gurunya tapi justru tersesat ke pantai selatan. Dekat sebuah pulau orang orang Kaisar berhasil mengejarnya. Setelah terjadi perkelahian hebat dan perahu kecilnya tenggelam Ki Hok Kui berenang ke daratan pulau terdekat. Orang orang Kaisar terus memburu. Entah apa yang terjadi Ki Hok Kui kemudian lenyap di pulau itu….”
Mungkin dia terbunuh dan Kitab Wasiat itu dirampas oleh orang orang Kaisar?” ujar Wiro.
“Tidak ada petunjuk yang menunjang dugaan itu. Kabarnya orang orang Kaisar kembali dengan kecewa besar. Mereka tidak menemukan Ki Hok Kui, juga kitab sakti yang diburu buru. Ki Hok Kui sendiri tidak pernah terdengar kabar beritanya lagi….” Wiro termenung sesaat. Dia ingat pada buku lilin yang ada di ruangan besar.
“Lalu apa hubungan buku lilin yang ada di tempatmu ini dengan kitab yang asli?” bertanya Wiro.
“Aku pernah mendapat mimpi, melihat kitab itu. Walaupun samar samar aku berusaha membuatnya. Siapa tahu aku berjodoh dengan kitab itu walau aku tidak menginginkannya….”
“Susah juga mencari kitab wasiat itu…” kata Wiro sambil garuk garuk kepala.
“Ratu, apa kau tidak punya petunjuk lain yang bisa menolong? Aku ditugaskan oleh tiga tokoh silat tanah Jawa untuk mendapatkan buku itu karena kabarnya ada satu kitab tandingan bernama Kitab Wasiat iblis yang jika jatuh ke tangan orang jahat pasti dia akan menguasai dunia persilatan dengan semena mena. Hanya Kitab Putih Wasiat Dewa yang agaknya mampu menghadapi Kitab Wasiat Iblis itu….”
“Aku akan coba melihat mundur pada hari hari sebelum kau muncul dan menjelang kedatanganmu ke sini,” jawab Ratu Duyung. Lalu diambilnya cermin sakti yang ada di pangkuannya.
*
* *

SEPULUH

Ratu Duyung menatap paras Pnedekar 212 sesaat lalu berkata. “Aku akan melihat ke dalam kaca sakti dan mengatakan apa yang aku lihat. Selama aku melakukan itu jangan sekali kali mengeluarkan suara atau bertanya. Kau mengerti Pendekar 212?” Wiro anggukkan kepala.
Sang Ratu memandang ke dalam cermin bulat. Perlahan lahan sepasang matanya yang biru bagus dipejamkan.
“Ini aneh lagi…” membatin Wiro yang memperhatikan. “Yang namanya melihat itu dua mata mustinya dibuka lebar lebar, dia justru pejamkan ke dua matanya!”
“Aku melihat sebuah bukit di luar Kartosuro…” mulut sang Ratu terbuka dan ucapan itu meluncur dari mulutnya. “Ada dua orang bermuka iblis di dekat sumur.
Tampaknya mereka sengaja berjaga jaga….”
“Itu pasti Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan!” kata Wiro dalam hati.
“Orang ke tiga muncul. Tinggi tegap, berwajah gagah tapi congkak. Dia mengenakan mantel hitam. Mereka bercakap cakap…. Ah, terjadi perkelahian. Dua lawan satu….”
“Orang tinggi tegap… berwajah congkak. Mengenakan mantel hitam…. Siapa lagi kalau bukan….”
“Orang yang barusan datang menyibakkan bagian depan mantelnya. Aku melihat… aku melihat ada gambar gunung dan matahari pada bagian dada bajunya….”
Dugaanku tidak meleset! Manusia itu ternyata memang benar anjing jahanam berjuluk Pangeran Matahari!” Wiro kepalkan ke dua tinjunya lalu pasang telinga mendengarkan kelanjutan keterangan Ratu Duyung.
“Ada kepulan asap. Ada tiga sosok raksasa keluar dari kepala salah seorang pengeroyok. Orang bermantel terdesak hebat. Hampir celaka…. Tapi tidak. Dia berhasil menotok tubuh lawan. Lalu…. Orang bermantel masuk ke dalam sumur….” Sampai di sini Ratu Duyung berhenti berucap. Lama Wiro menunggu hampir hampir dia tak sabaran membuka mulut hendak bertanya. Namun sesaat kemudian tampak bibir merah sang Ratu membuka.
“Muncul seorang nenek berjubah kuning yang mukanya dirias tak karuan.
Perempuan ini melepaskan totokan dua orang di tepi sumur. Sekarang muncul kembali orang bermantel. Dia keluar dari dalam sumur. Terjadi keributan. Si nenek menyerang orang bermantel. Dari dada orang bermantel melesat satu cahaya angker berwarna hitam. Tubuh si nenek mencelat. Tergelimpang di tanah. Tewas mengerikan dengan tubuh jadi tulang belulang hangus gosong!”
“Tidak salah dugaan para tokoh!” kata Pendekar 212 dalam hati. “Kitab Wasiat Iblis telah dikuasai oleh Pangeran Matahari!” Wiro menarik napas dalam dan melihat sepasang mata biru Ratu Duyung terbuka. Wajahnya yang cantik keringatan. Dia mengeluarkan sehelai sapu tangan lalu menyeka keringat pada bagian kening bawah mata serta dagu.
“Ratu, turut keteranganmu Kitab Wasiat Iblis sudah dikuasai oleh Pangeran Matahari dari Gunung Merapi….”
Ratu Duyung mengangguk. “Apa yang bisa kulihat dalam cermin sakti masih berlanjut. Kau masih ingin mendengarkan?”
“Tentu saja Ratu. Tapi jika kau merasa capai silahkan istirahat. Aku akan menunggu….”
Ratu Dutung tersenyum. Dia pejamkan ke dua matanya kembali. “Tampak sebuah telaga. Ada seorang dara berpakaian biru. Aku juga melihat kau berada di tempat itu Pendekar 212….”
Murid Sinto Gendeng sampai bangkit dari kursinya saking terkejutnya. “Celaka….
Jika dia melihat semuanya dan membeberkan….” Wajah murid Sinto Gendeng ini berubah dan tangannya menggaruk kepala berkali kali!
“Ada yang tidak beres…. Cermin sakti mengalami kesulitan. Keadaan sekitar telaga terlihat sangat samar….”
Wiro merasa lega dan duduk kembali ke kursi batu. Ratu Duyung membuka ke dua matanya, menatap ke arah Wiro. Sepertinya ada seberkas cahaya keluar dari dua bola mata biru perempuan muda yang cantik jelita itu. “Gadis berbaju biru di telaga….’ ujar sang Ratu. “Apakah dia yang kau panggil dengan sebutan Bidadari Angin Timur waktu kau melamun tadi…?”
Wiro tak menjawab. Kalau sang Ratu sudah tahu apa gunanya menjawab, begitu murid Sinto Gendeng berfikir.
“Apa hubunganmu dengan gadis itu Pendekar 212?” bertanya Ratu Duyung.
“Eh nada suaranya seperti cemburu…” membatin Pendekar 212.
“Kalau kau tak mau menjawab tak jadi apa. Aku akan meneruskan melihat ke dalam cermin sakti.” Ratu Duyung arahkan pandangannya pada cermin yang dipegangnya. Begitu dia memejamkan mata maka kembali mulutnya menutur.
“Pendekar 212, kau terlihat di dekat sumur di lereng bukit bersama gadis cantik berpakaian biru itu.. Seseuatu terjadi. Dalam keadaan tertotok….”
Apa yang dikatakan Ratu Duyung selanjutnya tidak begitu diperhatikan Wiro karena dia yang mengalami dan tahu sendiri apa yang terjadi selanjutnya. Dia baru tersentak ketike mendengar ucapan sang Ratu selanjutnya. “Aku melihat puncak sebuah gunung. Ada bayangan seseorang di pintu sebuah bangunan. Ternyata lelaki bermantel itu. Dua orang mendatanginya. Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan. Dua orang ini menyerahkan sesuatu pada orang bermantel. Yang satu berbentuk hitam pekat, tak jelas apa adanya. Namun yang satu lagi sebuah senjata bermata dua yang memancarkan sinar berkilauan. Ah…. Sebuah kapak…….”
Pendekar 212 setengah terlompat dari duduknya. Kalau tidak lekas menguasai dirinya hampir saja dia memukul lengan kursi batu yang didudukinya. Sambil mengepalkan tinju murid Sinto Gendeng menyumpah dengan suara ditekan. “Jahanam!
Dua senjata mustika milikku diserahkannya pada manusia keparat itu! Kapak Maut Naga Geni 212 dan pasangannya batu hitam ternyata berada di tangan Pangeran Matahari musuh besarku! Benar benar kurang ajar!” Wiro melangkah mundar mandir di ruangan itu sampai dia mendengar suara Ratu Duyung menegur.
“Pendekar 212, apakah kau masih ingin mengetahui kelanjutan penglihatanku lewat cermin atau kita sudahi saja semua ini?”
“Maafkan aku Ratu Duyung! Aku sangat terkejut dan tidak mnenyangka kalau dua senjata mustika milikku kini jatuh ke tangan Pangeran Matahari musuh besarku sejak bertahun tahun silam… Dua manusia setan alas itu ternyata adalah kaki tangan Pangeran Matahari!” Wiro mengusap wajahnya. Setelah dia duduk ke kursi batu baru Ratu Duyung pejamkan mata dan melihat kembali ke dalam cermin saktinya.
“Gadis berbaju biru tawanan Tiga Bayangan Setan dan Elang Setan berhasil meloloskan diri setelah menghajar Elang Setan sampai babak belur….Hemmmm….. cerminku kehilangan sambungan getar. Aku tak dapat melihat apa apa. Tunggu dulu…. Aku melihat laut. Ada sebuah perahu putih. Kau berada di atasnya bersama seorang lelaki korengan, pakai caping dan mukanya ditutup dengan cadar. Kurasa tak perlu kulanjutkan karena kau tahu sendiri apa yang kemudian terjadi. Tapi tunggu….Aku melihat ada sebuah perahu lagi. Melesat mendampingi perahu putihmu. Kau dalam keadaan tak berdaya, terjepit tangan kanan pada lantai perahu. Hemmm….. Penumpang perahu yang satu itu ternyata adalah gadismu si baju biru itu. Dia seperti mencari carimu. Tapi wajahnya menunjukkan kegelisahan. Sayang dia tidak sempat mengetahui kalau kau berada di perahu putih itu. Perahunya membelok dan menghilang di kejauhan…”
Ratu Duyung membuka kedua matanya. Menatap Pendekar 212 sesaat lalu berkata. “Hanya itu yang bisa kulihat melalui cermin saktiku……”
“Ratu… Apa yang kau lihat sama sekali tidak memberi petunjuk dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu.” Kata Wiro pula.
“Pendekar 212, perlu kau ketahui apa yang terlihat di dalam cermin bisa saja keliru karena betapapun saktinya benda ini selalu ada keterbatasan. Karenanya kita perlu mengkaji ulang apa apa yang terlihat. Apakah kau mengenal oarang bercaping yang berpenyakit kulit itu?”
“Orang itu berkepandaian sangat tinggi. Sikapnya aneh penuh rahasia tapi jahat sekali. Nelayan di pantai menyebutnya dengan panggilan Makhluk Pembawa Bala. Sulit kuduga siapa dia adanya. Jangan jangan salah seorang kaki tangan Pangeran Matahari pula. Tadinya aku mengharapkan dia akan membawa aku ke pulau tujuan dimana aku bisa bertemu dengan seorang sakti bergelar Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Ternyata dia mencelakai diriku di tengah laut. Aku berterima kasih padamu yang telah menolong…”
“Selama ini sering terlihat di cermin manusia itu malang melintang di lautan.
Anak buahku berulang kali melakukan penyelidikan namun masih belum bisa mengetahui siapa adanya makhluk satu itu. Katamu kau mencari Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Mengapa…?”
“Menurut para tokoh yang memberi tugas padaku, dia mengetahui dimana beradanya Kitab Putih Wasiat Dewa itu…. Dia diam di salah satu pulau sekitar sini.”
“Dugaan itu mungkin betul. Aku pernah bertemu satu kali dengannya. Singkat sekali. Dia berusaha mengobatiku tapi tidak mampu….”
“Hemmm…. Memangnya kau punya penyakit apa?” tanya Wiro.
Lama Ratu Duyung berdiam diri, tidak menjawab.
“Kalau kau tak mau menjawab tak apa. Tapi apa kau bisa memberi petunjuk dimana kira kira letak pulau kediaman Raja Obat itu…?”
Ratu Duyung memandang ke langit langit ruangan. Lalu dia berpaling pada cermin yang dipegangnya. “Akan kucoba…” katanya seraya memejamkan mata. Lama sekali baru perempuan bermata biru ini berkata.
“Aku melihat samudera luas. Kosong… Ada satu titik hitam di sebelah tenggara…” Ratu Duyung membayangkan wajah Raja Obat Delapan Penjuru Angin. Titik hitam dalam cermin berkedap kedip. Matanya dipejamkan lebih rapat. “Ada warna merah. Buki… gunung… batu… batu….” Dada sang Ratu kelihatan berguncang. Dia seperti berusaha menahan satu kekuatan yang menghadang pandangannya. Tapi tak sanggup. Perlahan lahan perempuan ini buka sepasang matanya dan menatap Wiro.
“Tak bisa kulihat lebih rinci…. Ada satu daya tolak yang hebat. Bukan berasal dari si Raja Obat, tapi dari beberapa kekuatan yang datang dari luar. Ada kekuatan yang tak ingin aku mengetahui letak pasti pulau itu. Namun dari penglihatan yang terbatas aku bisa menduga duga. Pulau itu terletak jauh di sebelah tenggara muara Kali Opak. Berarti di sebelah timur dari tempat kita berada saat ini. Pulau itu tidak berpenghuni karena tak ada yang tumbuh di sana kecuali bukit dan gunung batu berwarna merah…..Hanya itu yang bisa kuberi tahu…..”
“Terima kasih Ratu Duyung. Terima kasih banyak. Apa yang kau jelaskan bisa kujadikan pegangan untuk mengarungi laut selatan mencari pulau tempat kediaman Raja Obat itu….” Wiro diam sebentar.
“Apa yang ada dalam pikiranmu Pendekar 212?” tanya sang Ratu.
“Sebenarnya ada beberapa pertanyaan ingin aku sampaikan. Entah apakah kau mau menjawab atau tidak…”
“Katakanlah…” ujar Ratu Duyung pula.
“Walau kau memberi penuturan tadi, sebagian tidak begitu kuperhatikan, mohon dimaafkan. Kau pasti menuturkan tentang seorang gadis berpayung merah….”
“Ya, apa yang ingin kau ketahui…”
“Gadis itu berasal dari tanah seberang. Punya tugas yang sama dengan tugasku yakni mencari Kitab Putih Wasiat Dewa…”
“Kau merasa bersahabat dengan dia?” tanya Ratu Duyung.
“Aku berhutang budi dan berhutang nyawa padanya. Tapi cepat atau lambat dia akan membunuhku…”
“Bagaimana kau tahu?” tanya Ratu Duyung.
Wiro lalu ceritakan tentang surat aneh yang dibawa Puti Andini. Mendengar itu Ratu Duyung termenung. Lalu dengan suara perlahan dia berkata. “Dia bisa jadi sahabat sejati tapi juga bisa jadi musuhmu paling berbahaya kelak. Yang jelas saat ini aku punya firasat dia salah satu yang menimbulkan kekuatan penolak hingga tadi aku tidak mampu melihat lebih jelas dalam cermin sakti…. Tapi sekali lagi kukatakan apa yang kuberitahu bisa saja salah….Karena….” Ratu Duyung tidak meneruskan ucapannya.
“Karena apa Ratu?” tanya Wiro.
“Karena aku juga punya firasat dia telah jatuh cinta padamu pada pandangan pertama…. Tapi kau kurang perhatian karena hatimu telah direbut oleh gadis bernama Bidadari Angin Timur itu….”
*
* *

SEBELAS

Wajah murid Sinto Gendeng dari Gunung Gede menjadi merah seperti saga.
Dalam duduk diam di atas kursi batu dan memandang dengan mata besar pada wajah cantik Ratu Duyung di hadapannya.
“Apakah ada pertanyaan lain yang ingin kau ajukan?” Ratu Duyung tiba tiba bertanya..
Wiro merasa lega sedikit. Sang Ratu rupanya tidak ingin memperpanjang pembicaraan tadi. “Memang ada Ratu,” jawab Wiro. “Seperti kau ketahui Tiga Bayangan Setan memiliki ilmu kebal yang tak memungkinkan dia dibunuh dengan cara apa pun…”
“Dia memang tidak mempan pukulan sakti dan senjata tajam. Semua itu datang dari luar. Tapi kematian yang datang dari dalam tetap tak bisa diledakkannya. Dia tidak kebal terhadap racun. Turut penglihatanku lewat cermin tadi, baik Tiga Bayangan Setan maupun temannya Elang Setan mengidap sejenis racun mematikan secara perlahan dalam tubuh masing masing. Mereka akan menemui ajal sekitar dua ratus hari dimuka jika tak berhasil mendapatkan obat penawar…”
“Ratu, aku benar benar kagum dengan kemampuanmu melihat sejauh itu,”
memuji Wiro. “Tapi rasanya aku tak bisa menunggu sampai sekian lama, membiarkan mereka mati sendiri. Mereka merampas dua senjata mustikaku. Mereka diketahui pula kai tangan Pengeran Matahari. Mereka akan membunuhku begitu bertemu! Elang Setan tidak aku khawatirkan,. Tapi Tiga Bayangan Setan jadi momok nomor satu saat ini. Aku harus mengetahui kelemahan ilmunya. Gadis berpayung tujuh itu pernah memberi tahu bahwa seorang pemabuk bernama Iblis Pemabuk mengetahui pasti kelemahan Tiga Bayangan Setan….. Apakah kau bisa melihat ke dalam cermin untuk mengetahui dimana aku bisa menemui orang ini?”
“Kau percaya begitu saja pada keterangan gadis itu?” tanya Ratu Duyung.
Pendekar 212 tidak bisa menjawab.
Ratu Duyung tersenyum lalu jentikkan jari telunjuk tangan kanannya ke ibu jari.
Suara jentikan menggema keras dalam ruangan itu. Tirai biru di sebelah kanan tersingkap. Seorang anak buah Ratu Duyung muncul.
“Aneh, tadi aku setangh mati mencari jalan atau pintu keluar ruangan ini.
Ternyata ada di sebelah sana….”
“Saya menunggu perintah…” kata gadis yang baru muncul seraya membungkuk.
“Bawa kemari tamu kita yang datang malam tadi…” berkata Ratu Duyung.
Gadis berpakaian hitam mengangguk lalu menyelinap ke balik tirai biru kembali.
Saking percayanya Wiro berdiri dari kursi batu lalu membuka tirai di bagian tadi si gadis menghilang. Tembok batu! Dia sama sekali tidak melihat pintu atau apa kecuali tembok batu! Wiro kembali ke kursinya sambil garuk garuk kepala.
Ratu Duyung tertawa perlahan. “Apa yang kau lihat, Wiro?” tanya sang Ratu.
“Dinding batu!” jawab murid Sinto Gendeng.
“Kau pernah mendengar ujar ujaratau petuah yang mengatakan bahwa apa yang terlihat mata telanjang belum tentu seperti itu kenyataannya?”
“Ya, aku pernah mendengar orang pandai berkata seperti itu…”
“Kau melihat batu tapi apakah kau pernah membuktikan kalau itu pernah membuktikan kalau itu benar benar batu? Coba kau singkapkan lagi tirai biru di bagian mana saja kau suka. Jika kau melihat batu coba kau sorongkan tubuhmu ke depan. Lihat nanti apa yang terjadi….”
Wiro pandangi wajah sang Ratu dengan mimik tak percaya. Lalu dia berdiri, melangkah ke dinding ruangan sebelah kiri. Dengan tangan kanannya dia menyingkapkan tirai biru tebal. Dinding batu kelihatan di depannya. Seperti dikatakan Ratu Duyung Wiro selalu maju menabrak dinding batu itu.
Astaga! Ternyata tubuhnya lewat begitu saja seperti menerobos udara kosong.
Sesaat kemudian tahu tahu dia sudah berada di depan satu pedataran berumput.
“Aneh! Benar benar aneh!” kata Wiro sambil memutar tubuh. Kembali dia melangkah menabrakkan diri ke dinding batu. Tubuhnya lewat dan kini dia sampai kembali ke dalam rauang semula!
“Bagaimana…?” tanya Ratu Duyung.
“Aku banyak mendapat pelajaran bagus darimu Ratu Duyung…” jawab Wiro seraya duduk kembali ke kurai batu. Tiba tiba dia mendongakkan kepala. Hidungnya bergerak gerak.
“Ada apa?” tanya Ratu Duyung.
“Aku mencium bau minuman keras. Keras Sekali. Mungkin tuak atau air ketan….”
Ratu Duyung cuma tersenyum mendengar kata kata itu. Sesaat kemudian tirai biru di samping kanan terbuka. Empat orang gadis berpakaian ketat hitam muncul mendampingi seorang laki lakigemuk pendek berwajah seperti dedemit. Pada cuping hidungnya sebelah kiri melingkar sebuah anting bulat terbuat dari akar bahar. Orang ini hanya mengenakan celana komprang hitam. Muka dan tubuhnya berwarna merah.
Sekujur badannya mulai dari kepala sampai ke kaki yang tak berkasut menghamparkan bau minuman keras. Pada ikat pinggang besarnya tergantung selusin kendi. Di tangan kanan dia memegang sebuah kendi yang setiap saat disorongkannya ke mulutnya.
“Gluk…gluk… gluk!” Dia meneguk lahap minuman keras yang ada dalam kendi itu. Lalu dari mulutnya keluar suara antara orang menyanyi dan orang meracau. Tubuhnya bergoyang goyang seperti mau rubuh! Wiro memperhatikan empat gadis yang datang bersama si gemuk muka setan ini membawa masing masing enam buah kendi berisi tuak.
“Sobatku tamuku agung, coba terangkan siapa dirimu pada tamu muda ini…” berkata Ratu Duyung.
Seolah sadar si gemuk itu turunkan kendi dari mulutnya.”Astaga, kukira aku masih berada di sorga! Rupanya sudah turun ke bumi! Ha..ha..ha…!” Sepasang mata si gemuk berputar putar. Tubuhnya oleng ke kiri, menghuyung ke kanan.
“Tuan rumah Ratu Duyung, siapa yang kepingin tahu diriku yang jelek ini?” Ratu Duyung anggukan kepala pada Wiro.
Murid Sinto Gendeng segera membuka mulut.”Namaku Wiro Sableng. Aku yang ingin tahu siapa adanya dirimu kalau kau tidak keberatan…”
“Ha… ha… ha….! Wiro Sableng! Tak pernah ku dengar nama itu sebelumnya.
Kalau Cuma pada seorang kurcaci jalek mengapa aku harus menyembunyikan siapa diriku. Tapi tunggu dulu! Aku mau mabok dulu!” Si gemuk lalu tenggak lagi minuman keras dalam kendi yang dipegangnya sampai habis. Begitu habis dia memaki. “Sialan!
Bagaimana aku bisa mabok kalau Cuma minum sedikit?!” Lalu! Wiro ternganga. Seperti menyantap kerupuk enak saja si gendut itu melahap kendi tanah itu, mengunyah dan menelannya sampai habis! Wiro jadi leletkan lidah dibuatnya.
Selesai menghabiskan kendi tanah itu si gemuk bermuka setan ambil sebuah kendi yang tergantung di pinggangnya lalu meneguk isinya sampai setengah.”Nah, ini baru sedap. Aku sudah mabok! Ha… ha… ha….!” Tubuhnya kembali menghuyung tak karuan.
“Ratu Duyung, apakah kurcaci jelek yang tadi menanyakan siapa diriku masih ada di tempat ini?” Sepasang mata si gemuk pendek berputar putar liar. Tangan kirinya mengusap usap perutnya yang buncit.
“Benar tamuku agung! Kurcaci jelek itu masih ada di sini!” menjawab Ratu Duyung.
Wiro pencongkan mulutnya karena dari tadi dia disebut sebagai kurcaci jelek.
“Kalau dia masih ada di sini tanyakan padanya apakah dia membawa nyawa cadangan karena aku ingin meminta satu dari dua nyawanya itu. Aku tidak ingin meminta satu dari dua nyawanya itu. Aku tidak serakah! Aku hanya minta satu saja… Biar enak mabokku! Ha… ha… ha!”
Berubah paras Pendekar 212. Dia memandang pada Ratu Duyung tapi perempuan cantik itu diam saja.
“Ratu Duyung, tuan rumahku mengapa kau tidak menjawab?!” Si gemuk bertanya lalu teguk minuman keras dalam kendi.
Ratu Duyung memandang pada Wiro dan berkata. “Jawab pertanyaannya.
Nyawamu tergantung pada bagaimana jawabanmu! Salah menjawab berarti mati!
Jangan berharap bisa lolos!”
Wiro merasa tengkuknya sedingin es. Keringat memercik di keningnya. Dalam hati dia berkata. “Orang gila harus dilayani gila. Orang mabok harus dilayani secara mabok!”
Wiro melompat, menyambar sebuah kendi minuman keras yang dipegang salah seorang anak buah Ratu Duyung lalu meneguknya hingga mengeluarkan suara keras.
Minuman keras itu menyengat mulut membakar tenggorokkannya.
“Tuanku besar raja kurcaci! Aku kurcaci jelek menemanimu mabok bersama!
Mabok barengan lebih asyik dari sendirian! Ha… ha… ha…!” teriak Wiro seraya acungkan kendi minuman keras lalu huyungkan dirinya ke kiri dan ke kanan.
“Ah…. Apa aku yak salah dengar? Ada kurcaci jelek yang memanggilku tuan besar raja kurcaci! Asyikk! Ayo teguk! Tenggak sampai ludas! Mabok bersama memang bagus!
Tapi mana nyawa cadanganmu yang aku minta!” teriak si gendut pendek bermuka seram!
Wiro jadi tercekat. Tapi dasar gendeng dia tak kurang akal. Sambil tertawa haha hihi kendi di tangan kanan dikocok hingga minuman keras muncrat ke udara. Begitu minuman itu melayang jatuh Wiro buka mulutnya lebar lebar. “Gluk…gluk…gluk!”
Minuman keras amblas masuk ke dalam tenggorokannya. Melihat apa yang dilakukan Wiro itu si gemuk pendek tertawa bergelak. Tapi sesaat kemudian tetap saja dia berkata. “Ayo, jangan berani menipuku! Mana nyawa cadanganmu!”
“Tuanku besar raja kurcaci! Kau mabok asyik. Pasti lupa. Bukankah nyawa cadanganku sudah kuberikan padamu malam tadi di pintu gerbang. Kau menyimpannya di dalam kantong kulit ikat pinggang besar.”Mungkin benar aku lupa. Mungkin benar sudah kusimpan….Eh, kurcaci jelek. Coba kau ambil dan perlihatkan nyawa cadanganmu itu padaku!”
“Mampus aku!” ujar Wiro. “Apa yang harus aku lakukan?” Dia melirik pada Ratu Duyung. Sang Ratu angkat bahu tak bisa menolong. Wiro garuk garuk kepalanya. Sambil berpura pura terhuyung huyung Wiromelangkah mendekati si gemuk pendek. Dengan tangan kirinya dibukakannya kantong kulit besar di ikat pinggang lalu tangan kiri itu dikepalkan dan dimasukkan ke dalam kantong. Ketika tangan dikeluarkan masih dalam keadaan terkepal.
“Tuanku besar raja diraja kurcaci! Nyawa cadangan sudah kuambil, ada dalam genggamanku! Silahkan kau melihat sendiri!” Wiro lalu acungkan tangannya yang mengepal seperti menggenggam sesuatu.
Dengan kepala bergoyang goyang tak karuan si gemuk ini perhatikan kepalan tangan Wiro yang menggenggam. Lalu dia tertawa gelak gelak.
“Kurcaci jelek! Kau Betul! Aku sudah lihat nyawa itu. Hai! Lekas kau masukkan kembali ke dalam kantong kulit! Aku khawatir nyawa itu nanti terbang!”
“Perintah tuanku besar raja diraja kurcaci aku ikuti!” kata Wiro lalu kepalannya dimasukkan ke dalam kantong kulit.
“Bagus… bagus! Sekarang mari kita mabok lagi sama sama!” kata si gemuk sambil teguk sisa minuman keras yang ada dalam kendi. Lalu seperti tadi kendi kosong dari tanah itu dilahapnya seperti melahap krupuk garing!
Wiro menunggu sampai si pendek gemuk ini meneguk kendi ke tiga. Lalu diapun bertanya. “Tuanku besar raja diraja kurcaci, aku kurcaci jelek minta budi baikmu untuk memberi tahu siapa kau adanya!”
“Tentu… tentu, bukankah kita sekarang sudah jadi teman satu pemabokan?!
Ha…. Ha…. Ha…! Dengar baik baik, dekatkan ditelingamu padaku! Aku akan memberi tahu siapa aku adanya!”
Wiro cepat cepat angsurkan kepalanya dan dekatkan telinga kanannya ke mulut si gemuk pendek. Dia mendengar suara mendesis halus.
“Sudah kau dengar kurcaci jelek?!” tanya si gemuk lalu meneguk minuman dalam kendi sampai berlelehan di dagu dan jatuh ke perutnya yang telanjang.
“Aku tidak mendengar apa apa!” kata Wiro.
“Kurcaci tolol! Aku memang belum mengatakan apa apa!” kata si gemuk lalu tertawa mengekeh.
“Sial dangkalan!” maki Wiro dalam hati tapi terus pula tertawa gelak gelak.
“Kurcaci jelek, mari dekatkan lagi telingamu. Yang sebelah kiri saja. Yang kanan baunya membuat aku mau muntah! Ha… ha… ha!” kata si gemuk pendek. “Setan! Maki Wiro. Tapi dia angsurkan juga telinga kirinya.
“Namaku Iblis Pemabuk!” teriak si gemuk pendek.
Teriakan itu bukanj teriakan biasa. Demikian kerasnya hingga Wiro terpental dua tombak. Kepalanya seperti meledak dan dari liang telinganya kelihatan darah mengucur.
Untuk beberapa lamanya Wiro terkapar di lantai ruangan, tak mampu bergerak.
Pendengarannya seolah tuli, bukan saja pada telinga kiri tapi juga pada telinga kanan!
“Eh, kurcaci jelek! Kau dimana…?!” teriak si gemuk pendek yang ternyata adalah Iblis Pemabuk.
Walau pendegarannya terganggu tapi dari gerak mulut si gemuk Wiro dapat menduga apa yang diucapkannya. Maka diapun menyahut. “Tuanku besar raja diraja kurcaci! Aku kurcaci jelek ada di sini, mengeletak di lantai!”
“Walah! Lagi apa kau di sana?!” teriak Iblis Pemabuk.
“Lagi mabok!” teriak Wiro.
Iblis Pemabuk tertawa gelak gelak mendengar jawaban itu. Lalu dia melompat ke hadapan Wiro. Minuman keras di dalam kendi diguyurkannya ke telinga kiri murid Sinto Dendeng. “Minumlah yang banyak biar tambah asyik mabokmu!” katanya.
Wiro merasa telinganya sperti disengat kalajengking. Dia cepat berdiri. Karena berdiri minuman keras yang masuk ke dalam telinga kiri kini mengalir keuar. Dan terjadilah hal yang aneh. Telinga yang sakit tuli itu sembuh kembali! Darahnyapun lenyap tidak berbekas. Pendegaran Wiro pulih kiri kanan.
“Manusia gila aneh tapi punya kepandaian yang sulit kujajagi!” kata Wiro memaki dalam hati tapi juga kagum.
“Ratu Duyung tuan rumahku, panas sekali udara di sini. Apa aku bisa minta tolong agar anak buahmu mengantarkan aku keluar?” tiba tiba Iblis Pemabuk berkata setelah meneguk sampai sepertiga isi kendi yang dipegangnya.
“Tuanku besar raja diraja kurcaci, tunggu dulu! Aku kurcaci jelek masih ada satu pertanyaan. Kalau kau tak menjawab besok besok aku tak akan menemanimu mabok mabokan lagi!”
“Dasar kurcaci geblek! Lekas bilang apa kau mau tanya!” bentak Iblis Pemabuk lalu bantingkan kendi yang masih banyak isinya itu ke lantai hingga pecah dan minuman keras di dalamnya membasahi lantai.” Astaga! Apa yang aku lakukan?!” seru Iblis Pemabuk seolah sadar dan menyesal. Lalu dia membuka mulutnya lebar lebar.
Minuman keras yang tergenang di lantai laksana disedot melesat ke dalam mulutnya hingga lantai menjadi kering!
Wiro leletkan lidah melihat kejadian itu.
“Tuanku besar raja diraja kurcaci! Aku mau tanya begini! Ada manusia jahat berjuluk Tiga Bayangan Setan. Kebal pukulan sakti kebal senjata tajam! Dia memiliki ilmu hitam yang dapat mengeluarkan tiga raksasa jejadian! Kalau dia dibiarkan hidup dunia persilatan bisa kacau balau! Aku minta petunjukmu. Tolong beri tahu aku dimana letak kelemahannya!”
“Tiga Bayangan Setan….?” Sepasang mata Iblis Pemabuk berputar liar. Lalu dia tertawa gelak gelak. “Gelas angker tapi tak masuk akal. Yang ada bayangannya itu cuma manusia! Setan mana ada bayangannya! Tiga sekaligus! Buset sompret! Tidak masuk akal!” Iblis Pemabuk tertawa mengekeh sampai kedua matanya basah. “Tapi dengar, aku akan menjawab pertanyaanmu. Dengar baik baik apa yang aku ucapkan. Tepat tengah hari bolong! Pilih yang di tengah!”
Habis berkata begitu Iblis Pemabuk membungkuk di hadapan Ratu Duyung yang dibalas dengan menjura dalam oleh Ratu Duyung. Anak buah sang Ratu menyibakkan tirai biru. Iblis Pemabuk melangkah terhuyung huyung. Tiba tiba dia berbalik pada Wiro dan tudingkan jari telunjuk tangan kanannya ke arah murid Sinto Gendeng itu.
Astaga! Wiro sampai tergagau. Jarak antara dia dan si gemuk Iblis Pemabuk terpisah sekitar tiga tombak. Tapi saat itu Wiro merasa ujung jari telunjuk itu telah menyentuh dan menekan hidungnya!
“Kurcaci jelek! Dengar baik baik! Aku tunggu kau pada matahari terbit hari
sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran!
Wiro terkejut dan tak mengerti maksud ucapan Iblis Pemabuk itu. Namun waktu dia hendak bertanya si gemuk pendek ini telah lenyap di balik tirai biru.
“Pangandaran…” desis Wiro. “Teka teki apa pula ini? Ada apa di sana? Mau mengajak aku mabokan?!” Murid Eyang Sinto Gendeng berpaling pada Ratu Duyung. Dia tidak menemukan jawaban di wajah yang cantik jelita itu. Akhirnya sambil menggaruk kepala Wiro bertanya. “Ratu Duyung lewat cermin saktimu apakah kau bisa mengetahui apa yang akan terjadi pada hari sepuluh bulan sepuluh di Pangandaran pada saat matahari terbit seperti dikatakan Iblis Pemabuk tadi?”
Perlahan lahan Ratu Duyung ambil cermin sakti di pangkuannya lalu memandang ke dalam kaca dengan sepasang mata terpejam.
Wiro melihat paras cantik itu berubah. Ketika kedua matanya dibuka Ratu Duyung berucap dengan suara bergetar. “Aku melihat darah di seluruh pantai Pangandaran….”
*
* *

DUA BELAS

Pendekar 212, apakah masih ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?” ujar Ratu Duyung. “Kurasa semua sudah kutanyakan. Banyak yang belum sempat kutanyakan kau sudah memberi penjelasan…. Hanya ada satu hal, kalau aku memang bukan lagi sebagai tawanan apakah aku bisa meninggalkan tempat ini?
Ratu Duyung mengangguk. “Pada saatnya kau bisa pergi dari sini dan pada saat yang kau suka kau bisa kembali ke sini…”
Wiro hendak berdiri tapi Ratu Duyung memberi tanda dengan mengangkat tangan.
“Sebelum kau pergi, jika memang tak ada pertanyaan lain, kini giliranku untuk mengajukan satu pertanyaan. Hanya satu, tak lebih dan tak kurang….”
“Silahkan saja Ratu,” jawab Wiro Sableng seraya kembali duduk di kursi batu di hadapan sang Ratu.
“Apakah kau masih perjaka?”
Pertanyaaan itu diucapkan Ratu Duyung dengan tenang, wajah lembut dan perlahan. Tapi sampainya ke telinga Wiro seperti satu ledakan keras. Dipandanginya wajah sang Ratu. Lalu dia tertawa gelak gelak. Namun ketika dilihatnya paras sang Ratu tidak berubah menandakan bahwa dia memang tidak ada maksud bersenda gurau dengan ucapannya itu maka Wiro serta merta hentikan tawanya.
“Ratu Duyung, kau barusan menanyakan apa….?”
“Kau mendengar dengan jelas, aku tak akan mengulang pertanyaanku…” jawab Ratu Duyung.
“Ah, mungkin dia merasa tersinggung,” pikir Wiro. Dia mendehem beberapa kali.
Lalu dengan polos dia berkata. “Ratu Duyung, mengingat apa yang telah kau perbuat padaku aku menghormatimu…”
“Betul?” Wiro mengangguk.
“Tak ada dendam mengingat hukuman yang telah aku jatuhkan padamu?”
Wiro menggeleng. “Kuharap kau jangan tersinggung dengan sikapku barusan.
Pertanyaanmu sangat mengejutkan. Kau mau menerangkan apa maksudmu…?”
“Aku akan terangkan setelah kau menjawab pertanyaanku…” jawab Ratu Duyung pula.
Wiro garuk kepalanya. Lalu dia berucap.”Sampai saat ini aku memang belum pernah kawin. Maksudku menikah….”
“Bukan itu yang aku tanyakan. Kau masih perjaka artinya apakah kau pernah melakukan hubungan badan dengan perempuan?”
Wiro merasa kulit mukanya menjadi panas. “Aku tak pernah berzina…” katanya perlahan.
“Berzina ada beberapa macam. Zina mata, zina telinga, zina tangan dan zina badaniah…”
“Hemmm…Anu…Zina mata atau tangan atau telinga mungkin sudah pernah aku lakukan. Aku bukan manusia tanpa rasa. Aku pernah melihat wajah wajah cantik, aku pernah melihat hal hal yang dianggap terlarang, aku juga pernah mendengar sesuatu yang kotor, aku pernah memeluk dan mencium gadis gadis. Tapi jika zina yang kau maksudkan, itu belum pernah melakukan. Tuhan masih memeliharakanku dari yang satu itu….”
“Aku melihat di cermin sakti. Kau dan Bidadari Angin Timur bersatu badan berpeluk pelukan di dalam telaga. Hanya sayang yang terlihat di cermin tidak begitu jelas. Apakah kau tidak mau mengakui bahwa kau telah melakukan…”
Wiro bangkit dari kursi batu. Dia geleng gelengkan kepalanya. “Waktu itu keadaan memang benar benar penuh kesempatan. Kalau aku mau mungkin gadis itu pasrah saja mengikuti nafsuku. Tapi aku tidak melakukan hal yang satu itu. Bukan karena aku pemuda baik baik, tapi karena aku sadar aku mencintainya dan tak akan merusak dirinya….”
“Apakah hal itu akan kau lakukan pada gadis yang tidak kau cintai…?”
“Ratu Duyung, kau lebih baik memberikan seribu teka teki padaku.
Pertanyaanmu sulit kujawab…” kata Wiro pula.
Ratu Duyung terdiam sesaat. “Kalau ada seseorang menderita sakit. Tak ada obat penyembuhannya kecuali melakukan hubungan badan. Jika diminta apakah kau akan melakukannya?”
“Ratu, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu…” kata Wiro pula lalu dia memandang lekat lekat pada perempuan cantik bermata biru itu. “Ratu”… kata Wiro setengah berbisik. “Apakah kau menderita sakit? Apakah pertanyaanmu ada sangkut pautnya dengan dirimu?”
“Aku tidak menderita sakit. Tapi hidupku dalam kutukan. Kutukan itu hanya bisa dimusnahkan jika ada seseorang melakukan hubungan badan denganku dan dengan cinta kasih yang murni, semata mata tulus untuk menolong…”
“Kutukan…. Kutukan bagaimana Ratu…?” tanya Wiro.
“Aku akan coba menerangkan walau kau mungkin tidak mengerti… Aku dan juga semua anak buahku yang ada di sini dulunya adalah para gadis kepercayaan seorang sakti penguasa laut selatan. Hidup kami penuh bahagia walau dalam alam yang tidak sama dengan alam manusia. Namun dalam kehidupan iut terdapat larangan larangan yang tak boleh dilanggar. Satu ketika kami tertipu oleh serombongan pemuda gagah yang tengah mengadakan pesta di pantai. Kami tergoda turun mengikuti pesta itu. Tidak sampai di sana saja. Kami sampai melakukan hubungan badan walau sebenarnya tidak ada bagian tubuh kami yang cacat. Namun kami telah melanggar larangan. Penguasa mengusir kami, mengutuk kami menjadi setengah manusia setengah ikan. Jika badan kami tersentuh air tawar atau air laut bagian sebelah bawah tubuh kami akan menjadi ikan. Kami tidak akan bisa kembali ke dalam keadaan semula kecuali ada seorang pemuda yang mengasihiku, melakukan hubungan badan dengan tulus semata mata mau menolong…”
Wiro ternganga mendengar keterangan Ratu Duyung itu. “Jumlah kalian belasan mungkin puluhan. Apakah aku harus melakukan hubungan itu dengan semua kalian?”
tanya Wiro lalu dia menggerendeng sendiri karena merasa pertanyaannya itu adalah pertanyaan tolol.
Tapi Ratu Duyung mau menjawab. “Waktu hukuman dijatuhkan dan disumpahkan, aku mengatakan pada penguasa laut selatan bahwa aku yang bertanggung jawab atas semua kejadian itu. Karenanya jika ada yang menolong diriku dari beban kutukan maka semua gadis di sini akan terbebas dari kutukan yang sama….”
“Aku ingat anak buah yang kau bunuh di Ruang Penantian. Agaknya dia bermaksud hendak mengatakan hal yang sama padaku. Tapi kau membunuhnya…”
“Aku menyesal melakukan hal itu. Tapi tak bisa kuhindari karena bahaya yang menghadang kepada Wiro selama ini Ratu Duyung selalu memandang kepada Wiro dengan mata tak berkesip dan sikap gagah maka kini dia duduk dengan menundukkan kepala. Diam diam Wiro merasa iba terhadap perempuan cantik bermata biru ini. Tapi bagaimana mungkin dia bisa menolong?” Aku bukan orang alim. Melakukan hal itu pasti hemm…” Wiro garuk garuk kepala.
“Ratu, aku yakin ada cara lain untuk menghilangkan kutukan itu…”
“Kalau kau tahu katakanlah…”
Murid Sinto Gendeng kembali garuk garuk kepala.
“Ratu, maafkan pertanyaanku ini. Apakah pernah meminta hal yang sama pada pemuda lain…?”
Paras sang Ratu berubah merah. Bola matanya yang biru menyorotkan sinar aneh walau tak kehilangan pesonanya. Dia seperti hendak meledak marah namun perlahan akhirnya dia tundukkan kepala. Kepala itu kemudian digelengkan.
“Betapapun dosa dan kesalahan telah kubuat, tapi aku dan semua anak buahku bukanlah gadis gadis rendah, bukan perempuanp perempuan nakal. Aku tak pernah meminta pada siapapun. Aku tak akan pernah melakukannya kecuali jika aku menyadari bahwa aku menyukai dan merasa cinta terhadap orang itu….”
Wiro mengusap wajahnya. Dalam hati dia berkata. “Jadi… dia mencintaiku… Ah, bagaimana ini! Aku ingin menolongnya tapi…” Dipandanginya wajah sang ratu dengan perasaan semakin iba. Perlahan lahan dia berdiri menghampiri. “Ratu… Kalau ada cara lain yang bisa kulakukan, aku pasti akan menolongmu. Maafkan diriku….”
Sambil menundukkan kepala menyembunyikan sepasang matanya yang berkaca kaca Ratu Duyung mengangguk. “Aku kecewa besar. Bukan terhadap dirimu, tapi terhadap nasib diriku dan kawan kawan. Namun walaupun kecewa ada rasa bahagia.
Bahagia bahwa aku pernah bertemu dengan seorang pemuda berhati jujur, berjiwa besar. Hanya satu kupinta, jika kelak kau berubah pikiran hendak menolongku, datanglah kemari. Kayuhlah perahu dari muara Kali Opak. Kayuh ke tengah lautan. Di satu tempat orang orangku akan menjemputmu…”
“Mudah mudahan kita akan mendapat satu petunjuk memecahkan persoalan ini…” kata Wiro.
“Kalau tidak aku akan terjerat di tempat ini. Untuk masa yang tidak satu makhlukpun dapat menghitungnya!” sahut Ratu Duyung. Lalu ditanggalkannya cincin kerang warna biru di jari manis tangan kirinya. “Ambillah benda tak berharga ini.
Mudah mudahan ada gunanya….”
Wiro tak berani menolak. Khawatir Ratu Duyung akan tambah berduka. “Terima kasih,” katanya seraya menerima cincin itu. “Aku akan menyimpannya baik baik….”
“Terima kasihku untuk itu,” ujar Ratu Duyung pula. Lalu dia menatap dalam dalam ke arah sepasang mata Pendekar 212 Wiro Sableng. Wiro merasa satu getaran aneh masuk ke dalam dua rongga matanya, terus menjalar ke rongga dada. “Pendekar 212, aku minta maaf atas hukuman yang aku jatuhkan terhadapmu tempo hari. Tapi percayalah semua itu dengan maksud baik….”
“Terus terang aku sudah melupakan hal itu. Lagi pula aku memang pantas menerima hukuman. Lalu kaupun telah mengembalikan kedua mataku.”
“Apakah kau merasakan suatu kelainan setelah matamu dimasukkan kembali ke rongganya?”
Wiro usap usap dagunya. Dia ingat lalu menjawab.”Aku merasa penglihatanku lebih terang, lebih bersih….”
“Coba atur jalan darahmu menuju kepala. Lalu salurkan tenaga dalammu pada kedua mata. Setelah itu kedipkan matamu dua kali. Dan lihat apa yang terjadi….”
Wiro pandangi paras Ratu Duyung sesaat. Lalu diikutinya apa yang dikatakan.
Begitu dia selesai mengedipkan kedua matanya murid Sinto Gendeng tersurut beberapa langkah. Matanya diusap berulang kali. Lalu memandang ke kiri, ke kanan, berkeliling.
“Ratu Duyung…” kata Wiro tersendat. “Walau samar samar aku mampu melihat benda benda di luar ruangan ini….”
“Katakan apa saja yang kau lihat…” kata Ratu Duyung.
“Aku melihat beberapa orang anak buahmu di sebuah taman. Lalu di sebelah sana ada pedataran rumput. Di kejauhan aku lihat Bukit Batu Putih…. Bagaimana ini bisa terjadi…?!”
“Kedipkan lagi kedua matamu dua kali,” kata Ratu Duyung.
Wiro mengikut. Penglihatannya kembali seperti semula. Penuh rasa tak percaya dia kerahkan lagi tenaga dalam dan kedipkan dua matanya dua kali. Seperti tadi dia mampu melihat benda benda di luar ruangan.
“Ratu…”
“Pendekar 212, kini kau mempunyai ilmu baru. Kau mampu melihat satu benda yang terhalang oleh benda lain. Ilmu itu bernama Menembus Pandang…Mudah mudahan saja ada manfaat bagi dirimu.”
Terkejutlah Wiro mendengar kata kata Ratu Duyung. Dia melangkah mendekat.
“Ratu….. Jadi hukuman mencabut mata tempo hari itu sebenarnya….. Aku telah kesalahan menilai…. Sekarang aku sadar betapa tololnya diriku1”
Ratu Duyung tersenyum. “Aku punya sedikit ilmu yang bisa kubagi. Siapa tahu ada gunanya…”
Wiro Sableng geleng geleng kepala. Kedua tangannya diulurkan memegang bahu Ratu Duyung. Lalu dengan setulus hati diciumnya kening perempuan itu seraya berbisik.
“Aku banyak menerima budimu. Aku tak akan melupakan….” Lalu Wiro memeluk sang ratu erat erat.
Ratu Duyung hanyut dalam kebahagaiaan yang belum pernah dirasakannya.
Namun dia cepat sadar diri. Pelahan lahan dia melangkah mundur. Jari jari tangan kirinya dijentikkannya. Tirai biru di sebelah kanan bergerak.
Empat orang gadis berpakaian hitam ketat memasuki ruangan. Salah seorang di antaranya adalah gadis bertubuh jangkung yang tempo hari menemui Wiro sewaktu diikat ke batu putih dalam menjalani hukuman.
“Antarkan tamu kita ke Pintu Gerbang Perbatasan.”
Empat gadis menjura lalu memberi isyarat pada Pendekar 212 untuk mengikuti.
Namun sebelum berlalu Wiro berkata. “Ratu waktu pertama datang kemari aku mengenakan pakaian lain. Walau jelek dan dekil aku mohon pakaian itu dikembalikan padaku.”
“Kau akan mendapatkannya. Seorang anak buahku akan memberikan padamu sebelum meninggalkan tempat ini. Aku tahu pakaian itu kotor namun yang sangat berarti bagimu adalah sekuntum bunga kenanga sakti yang tak pernah layu di salah satu kantongnya, bukan begitu?”
Selagi Wiro terkejut mendengar ucapan Ratu Duyung, perempuan ini berkata lagi. “Jika kau bertemu dengan gadis dari alam gaib bernama Suci berjuluk Dewi Bunga Mayat itu, sampaikan salam hormatku padanya…”
Wiro hanya bis mengangguk. Dalam hati dia mengagumi betapa luasnya ilmu pengetahuan Ratu Duyung sampai sampai dia juga mengenal Dewi Bunga Mayat. (Untuk jelasnya siapa adanya Suci atau Dewi Bunga Mayat silahkan baca serial Wiro Sableng berjudul “Dewi Bunga Mayat)

“Satu lagi Ratu, pakaian hitam yang melekat di tubuhku saat ini apakah aku boleh memakainya terus. Atau harus kutanggalkan di hadapan anak buahmu seperti kejadian dulu…?”
Empat orang anak buah Ratu Duyung tampak terkesiap mendengar kata kata Wiro itu. Mereka khawatir mendengar kata kata Wiro itu. Mereka khawatir sang Ratu marah. Tapi ternyata Ratu Duyung tersenyum. “Kau boleh memakainya selama kau suka…”
“Terima kasih, aku minta diri sekarang.” Wiro membungkuk dalam dalam lalu melangkah mengikuti empat gadis anak buah sang Ratu.
*
* *
HANYAsesaat setelah Pendekar 212 meninggalkan ruangan itu, Ratu Duyung duduk terhenyak di atas kursi batu. Dia tak sanggup lagi menahan runtuhnya air mata.
Dia menangis hampir tanpa suara. Sambil bersandar tangannya bergerak menekan sebuah tombol di lengan kanan kursi batu. Terdengar suara berdesing. Tirai biru di hadapannya menggulung ke atas. Lalu tampak sebuah celah yang merupakan pintu sebuah lorong pendek. Ratu Duyung bangkit dari kursi batunya. Setengah berlari dia memasuki lorong itu hingga sebuah ruangan berbentuk bundar. Di bagian tengah ruangan ini ada sebuah benda setinggi manusia tertutup kain beluderu merah muda.
Ratu Duyung menarik lepas kain beluderu itu. Begitu kain tersingkap kelihatan sebuah patung seukuran tinggi manusia yang sangat halus buatannya. Patung itu memiliki wajah dan sosok tubuh menyerupai Pendekar 212 Wiro Sableng.
Di hadapan patung Ratu Duyung jatuhkan diri. Bahunya kelihatan berguncang. Kedua tangannya memegangi bagian kaki patung. Tangis yang sejak tadi ditahan dan disembunyikannya kali ini tak dapat dibendung lagi. Ratapannya terdengar mengharukan.
“Wiro… Lima tahun aku menunggumu. Setelah kau hadir di sini ternyata aku tak mampu berharap dan meminta…. Kalau saja hidup di tempat ini mengenal mati, aku lebih rela menghembuskan napas penghabisan saat ini juga….”
Tekanan batin dan keputusasaan membuat Ratu Duyung tak sadar lagi apa yang diperbuatnya. Patung batu Pendekar 212 Wiro Sableng dipeluk diciumnya dengan berurai air mata.
*
* *

TIGA BELAS

Yang disebut Pintu Gerbang Perbatasan adalah tumpukan batu batu besar berbagai bentuk yang disusun demikian rupa membentuk sebuah pintu gerbang. Saat itu udara terasa dingin dan malam sangat gelap karena bulan purnama dan bintang bintang tak satupun menghiasi langit.
Tiga orang gadis berpakaian hitam ketat berjalan di depan Wiro. Mereka melangkah cepat menuju pintu gerbang batu. Wiro mengikuti dengan buntalan kecil berisi pakaiannya tergantung di punggung. Di samping kanannya berjalan anak buah Ratu Duyung, gadis cantik bertubuh jangkung.
Sejarak sepuluh tombak sebelum mencapai pintu gerbang gadis ini berbisik pada Wiro.
“Pada saat mencapai pintu gerbang batu, aku akan melompat melewatinya. Jika aku selamat maukah kau mengantarkan aku ke satu tempat….?”
Tentu saja Wiro terkejut mendengar kata kata gadis itu. Dia ingat pada gadis yang menemui ajalnya di tangan Ratu Duyung di Ruang Penantian.
“Aku tidak bisa memastikan. Tapi apakah rencanamu itu tidak akan mencelakai dirimu sendiri?”
“Hidupku dan kawan kawan sudah lama dirundung celaka. Kalaupun muncul celaka besar yang bisa membunuh diriku, aku malah akan merasa lebih tenteram…” jawab si gadis.
“Kau masih muda, mengapa sengaja mencari bencana?” mengingatkan Wiro.
“Aku tahu masalah yang kalian hadapi. Suatu ketika semua akan mencapai akhirnya.
Kalian bisa kembali ke alam sebelum kalian berada di tempat ini…”
“Hemmmm…Kau pasti tahu itu dari Ratu kami. Tapi akhir yang kau katakan itu datangnya mungkin lama sekali. Bahkan bisa saja tak pernah terjadi.” Jawab si gadis. Air mukanya agak berubah. Lalu dia berkata setengah menyesali.
“Tadinya aku mengira bisa menggantungkan secuil harapan padamu. Ternyata aku keliru. Jika kau tidak bersedia menolong tak jadi apa. Tapi ketahuilah apapun yang terjadi aku tetap akan berusaha menembus keluar dari kungkungan kehidupan penuh tekanan batin ini. Sejak lama aku sudah tak tahan. Kurasa kawan kawan yang lain begitu juga. Termasuk Ratu kami sendiri….”
Pintu Gerbang Perbatasan semakin dekat juga. Satu tombak dari hadapan pintu batu ini tiga gadis di depan Wiro hentikan pintu batu ini tiga gadis di depan Wiro hentikan langkahnya. Mereka berpaling pada Pendekar 212. Wiro sendiri coba meneliti apa sebenarnya yang ada di seberang pintu gerbang batu itu. Dia hanya melihat tebaran awan putih bercampur kelabu.
“Kami hanya mengantar sampai di sini,” kata gadis yang di tengah. Dia kawan kawannya tidak memperhatikan kawan mereka yang satu si jangkung.
Wiro yang sudah tahu gelagat cepat melangkah ke bagian tengah pintu gerbang batu, maksudnya hendak menghadang perbuatan nekat yang hendak dilakukan gadis jangkung itu. Tapi dia lupa kalau saat itu dia masih berada di alam aneh kekuasaan Ratu Duyung. Lebih cepat dari langkah yang dibuat Pendekar 212 si gadis jangkung berkelebat.
Murid Sinto Gendeng hanya merasa ada sambaran angin. Ketika dia berpaling ke kiri gadis jangkung itu telah melesat di atas kepalanya!
Tiga anak buah Ratu Duyung berseru kaget melihat kejadian itu. Mereka memburu tapi sadar lalu cepat bersurut.
Di depan sana mereka semua melihat gadis jangkung yang tadi melesat di udara kini melayang turun. Lalu terjadilah hal yang membuat tiga gadis terpekik sedang Wiro keluarkan seruan tertahan.
Begitu tubuh gadis jangkung menyentuh tebaran awan, terdengar letupan keras lalu wusss! Satu kobaran api yang besar dan garang tahu tahu menyelimuti tubuh gadis jangkung itu. Si gadis menggeliat kian kemari. Tanpa jeritan sama sekali tubuhnya musnah tanpa bekas. Bersamaan dengan itu kobaran apipun padam.
“Kalau aku melewati pintu gerbang batu ini, lalu tubuhku bersentuhan dengan awan putih kelabu, apakah nasibku bakalan sama dengan gadis nekat tadi….”
Apa yang ada dalam pikiran Pendekar 212 rupanya diketahui oleh tiga gadis di dekatnya. Salah seorang dari mereka lalu berkata.
“Keadaan dirimu tidak sama dengan kami. Tak usah ragu. Lewati Pintu Gerbang Perbatasan tanpa rasa takut tanpa ragu. Kau akan kembali ke duniamu dengan aman….”
Wiro pandangi tiga gadis di hadapannya sambil garuk garuk kepala. Hatinya meragu dan kebimbangan terlihat di wajahnya. Tiga gadis di hadapannya anggukkan kepala satu persatu untuk pertama kalinya mereka tersenyum pada pemuda itu.
“Selamat jalan….” Kata ketiga gadis hampir bersamaan.
Wiro lambaikan tangan kanannya. Dia melangkah menaiki tangga Pintu Gerbang Perbatasan sebelah dalam. Pada pertengahan tangga batu, tepat di bawah pintu gerbang dia berpaling pada tiga gadis itu. Yang dipandangi kembali mengucapkan selamat jalan. Wiro geleng geleng kepala. Kakinya kini menuruni tangga batu sebelah luar pintu gerbang. Dia melangkah lagi. Sesaat dia merasa seperti melayang di udara.
Lalu kaki dan tubuhnya menyentuh awan putih kelabu. Pada saat itu juga terjadi satu hal yang tidak bisa dipercayainya. Memandang ke bawah dia melihat kedua kakinya kini menginjak pasir pantai. Memandang ke depan dia dapatkan laut luas terbentang ditebari pulau pulau di kejauhan. Ombak berdebur tiada henti di tepi pantai. Dua buah perahu lengkap dengan pendayung terapung apung dipermainkan ombak.
“Aneh, bagaimana ini bisa terjadi…?” pikir Pendekar 212. Dia menoleh ke belakang.
Astaga! Pintu Gerbang Perbatasan lenyap. Tiga gadis anak buah Ratu Duyung tak kelihatan lagi.
Selagi Wiro tercengang cengan seperti itu tiba tiba satu tangan besar memegang pundaknya. Murid Sinto Gendeng tergagau keras saking kagetnya. Dia cepat membalik sambil bersiap menghantam. Saat itu juga meledak suara tawa keras sekali.
“Kerbau Bunting sialan!” maki Wiro lalu tarik pulang tangan kanannya yang siap menjotos.
“Selamat datang di dunia kita Sobatku Muda!” kata Dewa Ketawa. “Betapapun bagusnya dunia orang lain, jauh masih lebih bagus dunia kita yang serba gila ini! Ha… ha… ha…..”
Mau tak mau Wiro jadi ikut ikutan tertawa.
Mendadak Dewa Ketawa hentikan gelaknya. “Eh, apakah kau sempat diajak tidur oleh Ratu Duyung bermata biru itu…?” Dewa Ketawa bertanya.
“Bagaimana kau tahu….?” Balik bertanya Wiro dengan mata mendelik.
“Ha…ha…Sebelumnya dia pernah minta pendapatku. Kukatakan padanya agar menanyakan sendiri. Jadi sudah ya…?”Wiro gelengkan kepala.
Dewa Ketawa pukul jidatnya sendiri. “Sayang aku sudah tua! Kalau saja masih muda dan segagahmu pasti aku yang duluan diminta sang Ratu untuk masuk ke kamarnya! Ha…ha…ha!”
Dewa Ketawa menunjuk pada dua buah perahu yang ada di pasir pantai. “Pasti Ratu Duyung yang mengatur. Aku ambil satu kau ambil satu. Kita tinggalkan tempat ini dan berpisah di sini. Kalau umur sama panjang pasti bisa bertemu lagi….”
Tubuh Dewa Ketawa melesat di udara lalu mendarat masuk ke dalam salah satu perahu. Walau nyata nyata tubuhnya yang gendut itu berbobot lebih dari dua ratus kati perahu sama sekali tidak bergoyang!
Wiro juga tak mau menunggu lebih lama. Sekali berkelebat tubuhnya melayang di udara, berputar putar seperti bola. Di lain kejap kedua kakinya menyentuh lantai perahu. Salah satu kakinya sengaja dipakai menginjak ujung kayu pendayung.
Pendayung melesat ke udara, sebelum jatuh murid Sinto Gendeng cepat melompat dan menyambar gagang pendayung selagi masih berada di udara. Ketika turun lagi ke dalam perahu, perahu itu tetap tidak bergoyang!
“Ha…ha….ha! Pertunjukan hebat!” memuji Dewa Ketawa.
“Sobatku Gendut!” teriak Wiro. “Kalau ada undangan besar apakah kau mau datang ke satu tempat?”
“Tergantung siapa yang mengundang, kapan dan dimana!” jawab Dewa Ketawa seraya mulai mengayuh perahunya.
“Yang mengundang Iblis Pemabuk! Waktunya hari sepuluh bulan sepuluh! Saat matahari terbit. Tempatnya Pengandaran” jawab Wiro.
“Waktunya cocok! Tempatnya sesuai! Si Pengundang tepat! Kita bisa mabuk sama sama di sana nanti!” Dewa Ketawa tertawa panjang. Sekali dia menggerakkan tangan mengayuh, perahu yang ditumpanginya melesat menembus ombak.
TAMAT


Artikel Terkait:

Tidak ada komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...